Minggu, 28 Desember 2014

MAUT

Definisi Mati menurut Al-Qur’an

HAKEKAT KEMATIAN MENURUT AL QUR’AN

Alhamdulillah telah diberikan nikmat luar biasa saya dan anda sekalian yang bisa bertemu atas izin allah swt. Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi tentang definisi mati/meninggal dunia/wafat menurut alquran.

Definisi mati menurut Al-Qur’an, Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika jantungnya sudah berhenti berdenyut.

Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah bertemunya Ruh dengan Jasad.

Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua kali dan mengalami pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula.

Terpisahnya Ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada dialam Ruh, ini adalah saat mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka dialam Ruh dan berfirman sebagai disebutkan dalam surat Al A’raaf 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ  قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا  أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ [٧:١٧٢]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Al A’raaf 172)

Selanjutnya Allah menciptakan tubuh manusia berupa janin didalam rahim seorang ibu, ketika usia janin mencapai 120 hari, Allah meniupkan Ruh yang tersimpan dialam Ruh itu kedalam Rahim ibu, tiba-tiba janin itu hidup, ditandai dengan mulai berdetaknya jantung  janin tersebut. Itulah saat kehidupan manusia yang pertama kali, selanjutnya ia akan lahir kedunia berupa seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi anak anak, menjadi remaja, dewasa, dan tua sampai akhirnya datang saat berpisah kembali dengan tubuh tersebut.

Ketika sampai waktu yang ditetapkan, Allah akan mengeluarkan Ruh dari jasad. Itulah saat kematian yang kedua kalinya. Allah menyimpan Ruh dialam barzakh, dan jasad akan hancur dikuburkan didalam tanah. Pada hari berbangkit  kelak, Allah akan menciptakan jasad yang baru, kemudia Allah meniupkan Ruh yang ada di alam barzakh, masuk dan menyatu dengan tubuh yang baru sebagaimana disebutkan dalam surat Yasin ayat 51
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ [٣٦:٥١]
Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ [٣٦:٥٢]
Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya). (Yasin 52)

Itulah saat kehidupan yang kedua kali, kehidupan yang abadi dan tidak akan ada lagi kematian sesudah itu. Pada saat hidup yang kedua kali inilah banyak manusia yang menyesal, karena telah mengabaikan peringatan Allah. Sekarang mereka melihat akibat dari perbuatan mereka selama hidup yang pertama didunia dahulu.

Mereka berseru mohon pada Allah agar dizinkan kembali kedunia untuk berbuat amal soleh, berbeda dengan yang telah mereka kerjakan selama ini sebagaimana disebutkan dalam surat As Sajdah ayat 12:
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ [٣٢:١٢]
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. (As Sajudah 12)

Itulah proses mati kemudian hidup, selanjutnya mati dan kemudian hidup kembali yang akan dialami oleh semua manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan tak terbatas. Proses ini juga disebutkan Allah dalam surat Al Baqaqrah ayat 28:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ  ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ [٢:٢٨]
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (Al Baqarah 28)

Demikianlah definisi mati menurut Al-Qur’an, mati adalah saat terpisahnya Ruh dari Jasad. Kita akan mengalami dua kali kematian dan dua kali hidup. Jasad hanya hidup jika ada Ruh, tanpa Ruh jasad akan mati dan musnah.

Berarti yang mengalami kematian dan musnah hanyalah jasad sedangkan Ruh tidak akan pernah mengalami kematian. Tak ada yang mengingkari hal itu termasuk kalangan atheis sekalipun.
Namun yang namanya keimanan tak mandeg sebatas ini saja. Telah menjadi perkara mendasar dalam Islam, yakni keyakinan adanya alam setelah kematian, yakni alam barzakh, atau lazim disebut alam kubur.
Kematian, dalam pandangan Islam, bukanlah ujung dari segala kehidupan makhluk. Syariat  telah demikian gamblang menerangkan bahwasanya masih ada alam lain (alam barzakh kemudian alam akhirat) yang akan dilalui manusia pasca kematian.

Maka, membincangkan alam kubur, jelas erat kaitannya dengan akidah. Karena alam kubur adalah bagian dari hal ghaib yang tidak semua orang (termasuk sebagian umat Islam) mau meyakininya. Nyatanya, masih saja ada yang berlogika untuk mementahkan perkara akidah ini.
Seakan-akan segala hal bisa dilihat dari kacamata logika mereka. Sebagian lagi menolak dengan merangkum beragam syubhat (keraguan) yang kesudahannya adalah menolak hadits-hadits yang menerangkan tentang berbagai peristiwa di alam kubur.

Melogikakan alam kubur dan beragam peristiwa yang terjadi di dalamnya tentu saja hanya akan menimbulkan erosi akidah, yang ujung-ujungnya kita bisa meragukan bahkan menghampakan eksistensi Allah sebagai Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Islam telah menggaris bawahi dengan tebal bahwa keimanan bukanlah atas dasar selera manusia sehingga ia bisa bebas memilih sekehendak hati. Di mana ia hanya mau menerima hal-hal yang masuk akal dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan akal. Ia hanya mengimani hal-hal yang bisa diendus oleh panca indera sementara yang ghaib justru dia kufuri.
Demikian juga dia hanya mau mempraktikkan syariat yang dianggapnya ringan sementara syariat yang (dalam anggapannya) berat –meski hukumnya wajib– justru ia tinggalkan.

Hakikat keimanan dalam Islam, adalah pembenaran secara total terhadap segala kabar yang diberitakan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang kemudian mewujud dalam praktik anggota tubuh, berupa ucapan maupun perbuatan. Sehingga bukan keimanan namanya jika ber-Islam hanya atas dasar eling (ingat) atau yang di kalangan sufi diistilahkan dengan tahap ma’rifat.

Disamping itu, jika setiap makhluk bisa menginderai hal-hal ghaib niscaya keimanan itu menjadi tiada harganya. Karena selain perkara itu bukan lagi merupakan hal ghaib, maka menjadi tidak terbedakan lagi antara mukmin dan orang kafir. Karena semua orang dengan mudah akan mengimani itu semua.

Bagaimanapun, dunia dalam pandangan Islam, hanyalah panggung ujian yang akan dinilai nantinya. Tidak mungkin ada dua orang, yang satu jahat sementara yang lain shalih, tatkala mati kemudian sama-sama selesai begitu saja. Tak ada balasan kejelekan atau hukuman dan tak ada balasan kebaikan atau pahala.

Tegasnya, tak ada tawar-menawar dalam setiap perkara yang memang telah digariskan syariat. Setiap muslim seyogianya terus menyempurnakan keimanan yang telah terpatri dalam sanubarinya, salah satunya dengan mengimani adanya kehidupan setelah kematian. Allah hu a'lam..,,


Jumat, 26 Desember 2014

Doa Untuk Orang Yang Sakit

Doa Untuk Orang Yang Sakit

Ditulis pada oleh Abu Harun Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani

Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih untuk mengobati dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:

1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:
امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَرَ
“Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)

5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ
‘Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar)

6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)


Minggu, 14 Desember 2014

BENCANA DALAM PREPEKTIF ISLAM

BENCANA DALAM PREPEKTIF ISLAM

Sesungguhnya Alloh menguji hamba-hambaNya dengan kesenangan dan kesusahan untuk mengetahui sejauh mana syukur dan sabar yang kita miliki. Siapa yang bersabar ketika mendapat bencana, senang ketika mendapat nikmat dan ketika musibah terjadi merendahkan diri kepada Alloh, mengadukan dosa-dosa dan kelalaiannya lalu memohon rahmat dan ampunNya maka dialah orang yang benar-benar beruntung.
Alloh berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ  وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً  وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ [٢١:٣٥]
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
(QS al Anbiya:35).

Yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat di atas adalah ujian sehingga diketahui siapakah yang jujur dan siapakah pendusta, siapa yang sabar dan siapa yang syukur.

Yang dimaksud dengan kebaikan dalam hal ini adalah berbagai bentuk nikmat semisal tanah yang subur, kesehatan, menang menghadapi musuh dll. Sedangkan pengertian keburukanadalah berbagai musibah semisal penyakit, dikuasai musuh, gempa bumi, banjir, angin putting beliung, tanah longsor dll.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar Rum:41).

Maksudnya segala takdir yang Alloh tetapkan baik berupa nikmat ataupun musibah serta berbagai kerusakan yang nampak adalah dimaksudkan supaya manusia mau kembali kepada pangkuan kebenaran dan segera bertaubat dari hal-hal yang Alloh haramkan serta segera melakukan ketaatan kepada Alloh dan RasulNya. 
Sesungguhnya kekafiran dan kemaksiatan adalah sebab segala bencana dan malapetaka di dunia dan akherat. Sebaliknya tauhid, iman, ketaatan kepada Alloh dan RasulNya, komitmen dengan syariat, mendakwahkan agama dan mengingkari orang-orang yang menyelisihi agama adalah sebab segala kebaikan di dunia dan akherat. Tegar di atas itu semua dan tolong menolong untuk melaksanakannya adalah kemulian di dunia dan akherat.

Dalam banyak ayat, Alloh menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai adzab untuk umat terdahulu adalah kekafiran dan kemaksiatan
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ  فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا  وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ [٢٩:٤٠]
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS al Ankabut:40).

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ [٤٢:٣٠]
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(QS asy Syura:30).
Alloh perintahkan kita untuk bertaubat dan merendahkan diri kepadaNya ketika berbagai musibah terjadi.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun Menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan” (QS al An’am:43).

Dalam ayat ini Alloh memotivasi para hambaNya agar merendahkan diri kepada Alloh serta memohon bantuanNya ketika berbagai musibah terjadi semisal banjir, tanah longsor, angin puting beliung, berbagai kecelakaan dll. Kemudian Alloh jelaskan bahwa kerasnya hati dan tipuan setan sehingga amal jelek dianggap baiklah yang menghalangi mereka untuk bertaubat, merendahkan diri dan bertaubat kepadaNya.

Oleh karena itu, ketika terjadi gempa bumi di masa Umar bin Abdul Aziz, beliau mengirimkan surat kepada para gubernur bawahannya berisi perintah supaya kaum muslimin bertaubat, merendahkan diri kepada Alloh dan bertaubat dari berbagai dosa.

Berbagai musibah yang mengepung tanah air kita beberapa akhir ini dan datang silih berganti, tidaklah diragukan lagi merupakan buah dari kekafiran dan kemaksiatan, tidak mau mentaati aturanNya, perhatian dengan dunia dan kesenangannya, berpaling dari akherat dan tidak mau menyiapkan bekal untuk akherat melainkan orang-orang yang Dia sayangi. Berbagai musibah ini mengharuskan kita untuk segera bertaubat kapadaNya dari semua yang Dia haramkan, bersegera untuk mentaatiNya, menerapkan aturanNya, saling menolong untuk berbuat baik dan bertakwa dan mendakwahkan kebenaran. Jika ini semua dilaksanakan maka Alloh akan mencurahkan berbagai nikmatNya kepada kita.

Dalam berbagai ayat Alloh menegaskan bahwa kasih sayangNya dan berbagai nikmatNya yang lain hanya akan didapatkan dengan sempurna dilanjutkan dengan kenikmatan di akherat untuk orang-orang yang bertakwa, beriman, mentaati rasulNya, konsisten di atas syariat dan bertaubat dari berbagai dosa.

Sedangkan orang-orang yang tidak mau taat, sombong untuk menunaikan hak Alloh dan bertahan untuk tetap dalam kekafiran dan kemaksiatan maka Alloh ancam dengan berbagai hukuman di dunia dan akherat bahkan ada hukuman yang disegerakan di dunia sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ [٦:٤٤]
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا  وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [٦:٤٥]
Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Marilah semua dari kita merenungkan amal yang telah kita lakukan, lalu segera bertaubat, secepat mungkin melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat serta hendaknya kita mengambil pelajaran dari berbagai bencana yang terjadi disebabkan dosa dan maksiat.

BENCANA ALAM/TANAH LONGSOR DI SIJEMBLUNG DESA SAMPANG KARANGKOBAR
JUM'AT 12 DESEMBER 2014 JAM 17.00





Selasa, 11 November 2014

Enam Persoalan Hidup Menurut Al-Ghazali

Enam Persoalan Hidup Menurut Al-Ghazali
Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia bertanya kepada mereka, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi menurut Imam Ghozali yang paling dekat dengan manusia adalah “mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Lihat QS. Ali Imran ayat 185)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “masa lalu”. Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “nafsu” (Al A’Raf 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ [٧:١٧٩]
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab dengan jawaban, baja, besi, dan gajah. “Semua jawaban hampir benar,” kata Imam Ghozali, “tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 72.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا [٣٣:٧٢]
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,

Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan sholat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan solat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا [١٩:٥٩]
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,(Maryam 9)


Lantas pertanyaan ke enam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang… Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “lidah manusia”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Rabu, 05 November 2014

Kamis, 23 Oktober 2014

BULAN MUHARRAM DAN PUASA SUNAH

Bulan Muharram Dan Puasa Muharram

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.
Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakanShafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.1

Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman:
{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان.))
Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “2
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya.

Qatadah rahimahullah pernah berkata:
(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ.)
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”3

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)
“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”4

Haramkah berperang di bulan-bulan haram?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ }
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.5

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))
… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”6

Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” 7

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamwafat pada tahun tersebut.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.
(HR Muslim)

Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))
Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”9
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).

Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.

Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?
Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.
Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.

Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))
Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”10

Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?
Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))
Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”11

Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.