Selasa, 13 Januari 2015

SUKUR NIKMAT

Syukur Dan Nikmat Dalam Musibah

Syukur adalah memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah ia kuasakan kepada anda.

Syukur seorang hamba itu terdiri atas tiga rukun – dan ketiga-tiganya harus ada. Yaitu;

1. Secara batin mengakui nikmat.
2. Secara lahir mengucapkannya.
3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepad Allah‘Azza wa Jalla.

Jadi, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan sekaligus. Hati untuk ma’rifal dan mahabbah. Lisan untuk memuji. Anggota badan untuk menggunakannya dalam menaati Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebut syukur dan iman secara beruntun. Dia menyatakan, tidaklah perlu mengadzab makhluk, jika mereka bersyukur dan beriman.

مَايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ
“Mengapa Allah mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman.” (Qs. An-Nisa: 147)

Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya, yang berhak atas karunia-Nya adalah mereka yang pandai bersyukur.
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلآءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَآ أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan yang lain, supaya mereka berkata, ‘Apakah mereka orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kami?’ Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-An’am: 53)

Allah ‘Azza wa Jalla membagi manusia menjadi dua; syakuur (yang bersyukur) dan kaafuur (yang kufur). Hal yang paling dimurkai oleh-Nya adalah kekafiran dan orang-orang kafir. Sedangkan, hal yang paling dicintai oleh-Nya adalah kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Ada kalanya ia bersyukur dan ada kalanya ia kufur.” (Qs. Al-Insan: 3)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah berat.” (Qs. Ibrahim: 7)

Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tambahan (rezeki), tergantung kepada kesyukuran. Dan tambahan dari-Nya adalah tambahan yang tiada batas, sebagaimana syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah ‘Azza wa Jalla juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Seperti,
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَآءَ
“Maka, pastilah Allah akan menjadikan kalian kaya dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (Qs. At-Taubah: 28)
وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ
“Dan Allah memberikan ampunan bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Maidah: 40)
وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى مَن يَشَآءُ
“Dan Allah menerima taubat dari siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. At-Taubah: 15)

Allah ‘Azza wa Jallamenjadikan balasan syukur tanpa pembatasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali-Imran: 145)

Tatkala Iblis mengerti nilai syukur sebagai kedudukan tertinggi dan termulia, maka ia pun mencanangkan tujuan akhirnya, yaitu menjauhkan manusia dari bersyukur.
ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Lalu aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. Al-Araf: 17)

Allah ‘Azza wa Jalla pun menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur itu sedikit.
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit saja dari hamba-hambKu yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’: 13)

Termuat dalam Shahih Bukhari dan, bahwa Nabi bangun malam sampai pecah-pecah kedua (telapak) kaki beliau. Ditanyakan kepada beliau, “Engkau melakukan semua ini, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang sudah maupun yang akan berlalu?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kepada Mu’adz Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ: اللّهُمَّ أَعِنِّي عَلي ذِكْرِكَ ,َشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka, di setiap penghujung shalat janganlah kamu lupa membaca (artinya), ‘Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Adz-Dzahabi)

Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab bertambahnya nikmat tersebut. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dengan bersyukur kepada-Nya.”
Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur itu berkaitan dengan maziid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai terputusnya syukur dari hamba”.

Hasan Al-Bashri berujar, “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabbnya. Dia berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (Qs. Adh-Dhuha: 11)

Allah‘Azza wa Jalla menyukai terlihatnya bekas-bekas nikmat-Nya kepada seorang hamba. Itu adalah syukur dalam wujud perbuatan.

Adalah Abu Al-Mughirah, jika ditanya tentang kabarnya, menjawab, “Pagi ini, kita tenggelam di dalam nikmat, tetapi lemah di dalam bersyukur. Rabb kita menampakkan cinta-Nya kepada kita, padahal Dia tidak membutuhkan kita. Sedangkan kita menampakkan kebencian kepada-Nya, padahal kita sangat membutuhkan-Nya.”

Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla. Musibah itu tidak berkenaan dengan diin-nya, musibah itu tidak lebih berat dari pada yang terjadi, dan musibah itu pasti akan terjadi lalu telah terjadi.”
Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amalku.”
Dalam mengomentari ayat:
سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ
“Akan Kami beri istidraaj (ujian) kepada mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 182)

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka diliputi oleh kenikmatan dan terhalangi dari bersyukur.” Banyak juga yang menafsirkan, “Setiap kali mereka berbuat dosa, setiap kali itu pula mereka diberi nikmat.”

Seseorang bertanya kepada Abu Hazim. “Apakah syukurnya dua mata itu, wahai Abu Hazim?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat kebaikan sebarkanlah, dan jika kamu melihat keburukan tutupilah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua telinga?” Abu Hazim menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan peliharalah, dan jika kamu mendengar keburukan cegahlah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua tangan?” Abu Hazim menjawab, “Jangan kamu gunakan ia untuk mengambil barang yang bukan haknya! Juga penuhilah hak Allah yang ada pada keduanya!”

Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Hendaknya makanan ada di bagian bawah, sedangkan yang atas dipenuhi dengan ilmu!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?” ia menjawab dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ 5. إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 6. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ .7
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka mereka tidaklah tercela. Dan barangsiapa mencari selain itu semua, merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun: 5-7)

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua kaki?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat seseorang yang shalih meninggal, segera teladani amalannya. Dan jika mayat itu orang yang tidak baik, segera jauhi amal-amal yang dia kerjakan, kamu bersyukur kepada Allah!


Sesungguhnya orang yang hanya bersyukur dengan lisannya itu seperti seseorang yang memiliki pakaian tetapi ia hanya memegang ujungnya, tidak memakainya. Maka ia pun tidak terlindungi dari panas, dingin, salju dan hujan.”
Beberapa ulama menulis surat kepada saudaranya. “Pagi ini kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga, padahal kami banyak bermaksiat kepadanya. Kami tidak tahu terhadap yang mana kami harus bersyukur; terhadap keindahan yang dimudahkan ataukah terhadap dosa-dosa yang ditutupi?”

Rabu, 07 Januari 2015

PANDANGAN ISLAM TENTANG KORUPSI

PANDANGAN ISLAM TENTANG KORUPSI

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ:   وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”

Penjelasan
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat. Ibnul Katsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.

Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini..
"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]

Juga firmanNya :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].

ANCAMAN KORUPTOR

1.    Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” 

2.    Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat. Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
. فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ
"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".

3.   Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". 

4.    Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".

5.    Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".