Senin, 04 Juli 2016

Silaturahmi

Keutamaan Silaturahmi


Bahasan berikut akan mengangkat perihal keutamaan silaturahmi. Lalu akan ditambahkan dengan pemahaman yang selama ini keliru tentang makna ‘silaturahmi’. Karena salah kaprah, akhirnya jadi salah paham dengan hadits yang menyatakan bahwa silaturahmi akan memperpanjang umur. Lebih baik kita simak saja ulasan singkat berikut. Moga bermanfaat.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
                                         
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)

Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)

Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)

Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits di atas. Yang tepat, menjalin tali silaturahmi adalah istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat. Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar dalam Al Fath menjelaskan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.” Itulah makna yang tepat.


silaturahmi

DELAPAN SIFAT ORANG YANG SUKSES
PUASA RAMADHAN

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia… “ (QS. 3 Ali ‘Imran 112)
Pada kesempatan mulia ini hendaknya kita selalu memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya pada kita, sehingga saat ini kita masih tetap dalam keadaan Iman dan Islam. Shalawat serta salam kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, penghulu semua Nabi, teladan umat manusia yang selalu menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia, keluarga, serta para shahabat dan para pengikutnya yang selalu setia dan berjuang untuk mencapai kebenaran dan keadilan serta ridha Allah SWT.
Bulan Syawal, adalah bulan pengharapan dan peningkatan, disebut bulan pengharpan dan peningkatan, karena bulan Syawal ini, umat Islam telah mampu menjalankan dua aktifitas ibadah suci yakni puasa Ramadhan yang kemudian disusul dengan Takbir dan shalat ‘Idul Fitri, datangnya bulan syawal serta disambung dengan sillaturrahim.
Kalau kita mengingat dan merenungkan shaum ramandhan yang baru saja kita jalankan, akan kita rasakan bahwa ibadah puasa itu sama sekali bukanlah ibadah fisik, akan tetapi merupakan ibadah spiritual yang bersifat kejiwaan yang sarat dengan masalah sosial.
Rukun fisik untuk menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan seks, adalah representasi dari keharusan setiap orang Islam yang berpuasa untuk memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu manusia yang melekat dalam dirinya. Nafsu yang selalu mengotori fitrah manusia. Nafsu yang selalu membelokkan manusia dari keharusan tunduk dan beribadah kepada Allah Yang Maha Pencipta dalam konteks “hablumminallah”. Dan nafsu yang senantiasa mengotori jiwa manusia dari ketulusan dalam membina hubungan baik dan berbuat baik dengan sesama manusia dalam konteks “habluminannas”.
Karena itu, berbahagialah kita yang dapat memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu dibulan Ramadhan. Dan sungguh merugilah mereka yang terkalahkan, yang tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.  Maka sangat pararel jika setelah bulan Ramandhan usai, umat Islam memasuki Idul Fitri di bulan Syawal. Hari tempat kembali ke fitrah, kembali kepada kesucian. Hari  milik siapa?  Tentu hari untuk setiap muslim yang memenangkan pertempuran di bulan Ramandhan yang penuh tantangan. Bukan hari untuk mereka yang kalah dalam ber puasa.  
Karena itu pula, seyogyanya di hari penutup bulan Ramandhan dan Idul Fitri 1 Syawal, setiap muslim merenungkan ulang dan melakukan muhasabah diri. Sudah berapa jauh kah ibadah yang ditunaikan di bulan penuh berkah itu, sudahkah membuahkan ketakwaan sebagaimana yang dituju oleh ibadah puasa? Adakah ibadah puasa itu membawa kita kembali kepada fitrah kemanusian sebagai makhluk dan hamba Allah dengan segala tugas hidup yang harus ditunaikan ? pertanyaan bernada gugatan ini kiranya perlu bagi setiap muslim yang berpuasa. Sebab tidak dengan sendirinya bahwa begitu selesai menunaikan ibadah puasa, seketika itu pula derajat ketakwaan dengan mudah dapat disandang, dan seketika itu pula kita kembali menjadi pribadi yang fitri, tanpa mempertanyakan kualitas dan proses yang ditempuh dari ibadah lainnya di bulan Ramandhan itu.
Jika hari raya ‘Idul Fitri sebagai rangkaian akhir dari ibadah puasa di bulan ramadhan disebut hari untuk “kembali kepada fitrah “, apa arti semua itu? Artinya, bahwa puasa dengan segala rangkaian ibadah yang dilaksanakan di bulan ramandhan itu baru dapat dikatakan berhasil jika ia benar-benar dapat menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran pada orang yang ber­puasa akan fitrah kemanusian dirinya sebagai manusia yang bertaqwa (al-muttaqun).
Menurut firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, setidaknya ada beberapa sifat yang nampak pada diri orang yang berhasil melaksanakan puasa di bulan ramandhan antara lain sebagai berikut :
Yang pertama, beriman kepada yang ghaib (alladzina yu’ minuuna bilghaibi…), beriman kepada yang ghaib yakni meyakini hal-hal yang tidak dapat ditangkap dan diraba oleh panca indera, seperti beriman kepada Allah, malaikat, jin atau syaitan, beriman kepada hari qiyamat dengan syurga dan nerakanya. Manusia yang demikian, dalam melakukan aktivitas hidupnya akan selalu merasa adanya pengawasan Zat yang Maha dari segala maha, sehingga mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama dan norma kehidupan.
Yang kedua, senantiasa mendirikan shalat, “wayuqiimuunash shalaata…”, mendirikan shalat yaitu melaksanakan dan mewujudkan nilai–nilai ibadah shalat itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam ibadah shalat itu banyak sekali terkandung nilai- nilai luhur yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan, mulai dari bersuci, takbiratul ikhram, ruku’, sujud, duduk dan berdiri. Apalagi shalat berjamaah, disitu terdapat nilai-nilai luhur dan petunjuk-petunjuk yang indah dalam membangun kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maka tidaklah berlebihan jikalau Rasulullah SAW mengatakan bahwa shalat itu merupakan barometer (ukuran) perbuatan seseorang dan merupakan amal yang pertama kali diperiksa di hari akhir kelak. Sebagaimana sabdanya dalam hadits yang diriwayatkan Tabrani dari Abdillah ibnu Qortin ra. Berikut : “Masalah pertama yang akan diperiksa dari seorang hamba dihari qiamat adalah shalat, jika baik shalatnya, maka baik pula seluruh amalnya. Jika rusak shalatnya, maka rusaklah seluruh amalnya
Yang ketiga, senantiasa meng infakkan hartanya di jalan Allah, “ wamima razaqnaahum yunfiquun…”, menginfaqkan harta dijalan Allah adalah senantiasa turut berpartisipasi dengan hartanya dalam perjuangan menegakkan dan mendakwahkan ajaran dan hukum Allah (dienul Islam).
Yang ke empat, Beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. (Qs. Al-Baqarah 3-4), Beriman kepada Al-Qur’an yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai Imam, sebagai petunjuk dan pembimbing dalam menjalani kehidupan untuk menggapai kebahagiaan di dunia hingga di akhirat kelak. Apalagi pada masa sekarang ini tantangan yang dihadapi umat Islam semakin komplek, baik dari luar maupun dari dalam. Seperti yang dilakukan oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI terhadap Kompilasi Hukum Islam, yang mana mereka dengan berani merubah hukum-hukum yang telah baku dalam Al-Qur`an menurut nafsu dan pikirannya. Seperti misalnya masalah hukum perkawinan, hukum waris, dan lain-lain.
Oleh karena itu orang yang berhasil melaksanakan shaum adalah mereka yang mencintai, membaca, mengkaji, dan mengamalkan Al-Qur`an dalam kehidupannya sehari-hari.
Yang ke lima, berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun sempit. “ alladziina yunfiqun fis-sarraa’I wadh dharra’i…”, apalagi dimasa seperti sekarang ini, kehadiran orang-orang yang suka berinfaq ini sangat diharapkan. Karena banyak saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, anak yang kehilangan ibu dan bapaknya, istri yang kehilangan suaminya, dan masih banyak lagi deretan penderitaan saudara kita itu.
Yang ke enam, Mampu menahan marah, marah saudara adalah sumber mala petaka, timbulnya benturan antar kelompok, perkelaian pelajar, mahasiswa dan antar suku sering kali terjadi karena tidak bisa menjaga dan mengendalikan nafsu amarah (kejolak emosi). Dan puasa mendidik kita untuk dapat mengendalikan hawa nafsu sehingga kita menjadi orang yang dewasa dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi disekitar kita.
Yang ke tujuh, mudah memberi maaf kepada orang lain. “wal ‘aafiina ‘aninnaasi…”. Pemaaf adalah salah satu sifat dan perbuatan yang dicontohkan oleh rasulullah SAW, karena sifat mudah memberi maaf ini dapat menghilangkan rasa dendam, iri dan dengki sehingga persaudaraan atau ukhuwah diantara sesama umat akan mudah dicapai.
Yang ke delapan, jika melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ia segera ingat pada Allah dan memohon ampun atas segala dosa-dosanya dan berjanji tidaka meng­ulanginya, serta selalu melakukan amal kebajikkan. (QS.3 : 133-135)
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ()الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. orang yang demikianlah yang berhasil melaksanakan puasa di bulan ramandhan dan mendapat peringkat yang mulia disisi Allah SWT serta ampunan–Nya dan syurga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. QS,3:136.
أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.


Demikialah saudaraku sekalian beberapa sifat-sifat orang yang bertaqwa atau orang yang berhasil menunaikan shaum di bulan ramandhan. Akhirnya mari kita berdoa memohon ampunan dan ridha dari Allah SWT agar kiranya kita di mudahkan segala urusan, selain dari­pada itu kita mohon agar selalu diberikan rahmat, taufiq dan hidayah Nya kepada kita semua sehingga kita dapat mencapai hidup rukun, aman dan damai, dan semoga Tadzkir yang ringkas dan sederhana ini dapat menggugah kesadaran saudara sekalian untuk menuju masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Baldatun thayyi batun warobun ghafur.  Amin yaa rabbal ‘alaamin.