Kamis, 23 Oktober 2014

BULAN MUHARRAM DAN PUASA SUNAH

Bulan Muharram Dan Puasa Muharram

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.
Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakanShafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.1

Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman:
{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان.))
Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “2
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya.

Qatadah rahimahullah pernah berkata:
(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ.)
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”3

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)
“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”4

Haramkah berperang di bulan-bulan haram?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ }
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.5

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)
Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))
… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”6

Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” 7

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya
Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamwafat pada tahun tersebut.
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.
(HR Muslim)

Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:
(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))
Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”9
Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).

Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.
Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.

Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?
Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.
Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.

Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))
Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”10

Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?
Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))
Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”11

Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.


Jumat, 03 Oktober 2014

TAKBIRAN

TAKBIRAN

Jika ditelisik, masalah takbir pada dua hari raya, termasuk hal yang dituntunkan oleh Islam. Untuk takbir pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq juga ketika bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, beberapa dalil yang dapat dirujuk antara lain firman Allah swt serta beberapa hadits dan atsar. Di antaranya:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ  فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ  لِمَنِ اتَّقَىٰ  وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ [٢:٢٠٣]
Artinya: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [QS al-Baqarah (2): 203]

Imam  Ibnu Katsir berkomentar: “Termasuk dalam cakupan ayat ini adalah berdzikir sebentar selepas shalat lima waktu, meski dzikir tidak dibatasi pada satu waktu tertentu (tapi bisa dilakukan kapanpun). Dalam masalah ini terdapat banyak pendapat para ulama, namun yang sering dilakukan adalah (takbir) seusai shalat subuh pada hari Arafah hingga usai shalat ashar pada hari tasyriq terakhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, vol.I/651)

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخرُجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكَرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحَيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ وَيَدْعُوْنَ بِدُعَائِهِمْ، يَرْجُوْنَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ. [رواه البخاري]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan pada kami ayahku dari Ashim dari Hafshah dari Ummu Athiyah, berkata: ‘Kami diperintahkan pergi shalat ’Idul (Fitri) bahkan anak-anak gadis pergi keluar dari pingitannya. Begitu juga wanita-wanita yang sedang haidh, tetapi mereka ini hanya berdiri di belakang orang banyak, turut takbir dan berdoa bersama-sama. Mereka mengharapkan memperoleh berkah dan kesucian pada hari itu’.” [HR. al-Bukhari: 971]

وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنىً فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ اْلمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنىً تَكْبِيراً. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنىً تِلْكَ اْلأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعاً. وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَانَ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أََبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي اْلمَسْجِدِ. [رواه البخاري، باب التكبيرِ أَيّامَ مِنىً، وَإِذا غَدا إِلى عَرَفةَ]
Artinya: “Umar (ra.) bertakbir dalam kubahnya di Mina kemudian orang-orang di dalam masjid mendengarnya, merekapun (ikut) bertakbir, juga orang-orang di pasar (ikut) bertakbir hingga Mina ramai dengan kumandang takbir. Ibnu Umar juga bertakbir di Mina pada hari-hari itu, di samping juga seusai shalat, di atas dipannya, di serambi (rumahnya), pada majelisnya, dan (orang-orang) di jalanan pada hari-hari itu. Maimunah juga bertakbir ketika hari raya kurban. Para perempuan juga bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari-hari tasyriq bersama para laki-laki di dalam masjid.” [HR. al-Bukhari, bab Takbir pada Hari-hari di Mina, dan ketika Berangkat menuju Arafah]

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هٰرُونَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ اْلفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يُأْتَي اْلمُصَلَّى وَحَتَّى يُقْضَي الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةُ قُطِعَ التَّكْبِيرُ.
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’bu dari az-Zuhri bahwasannya Rasulullah Saw keluar pada hari fitri lalu ia bertakbir hingga sampai ke tempat shalat dan hingga shalat ditunaikan. Apabila shalat ditunaikan, takbirpun berhenti.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5611, dengan sanad shahih dan didukung oleh jalur lain dari Ibnu Umar]

Dari dalil-dalil di atas, para ulama mazhab fikih yang empat berkesimpulan bahwa takbir, baik untuk hari raya Idul Fitri dan Idul Adha’ disunahkan. Demikian menurut mazhab Syafi’i dan Maliki serta dipegangi oleh Jumhur ulama. Mazhab Hanbali menyimpulkannya wajib, sedang mazhab Hanafi tidak disunahkan bertakbir. (Ibnu Qudamah; al-Mughni, vol 3/255, Asy-Sfai’i; al-Umm, vol. 4/286, ).

Untuk waktu kapan dimulainya takbir, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa takbir dimulai setelah matahari tenggelam pada malam ’Id sampai dengan dimulainya shalat ’Id dan atau ketika Imam  selesai berkhutbah menurut Imam Ahmad. (Majmu’ al-Fatawa, vol. 24/221).

Sedang untuk lafal takbir, banyak dan luas sekali riwayat seputar hal ini sehingga  para ulama seperti Imam Malik, al-Qurthubi, dan ash-Shan’aniy menganjurkan kita untuk memilih salah satunya. Di antaranya sebuah riwayat sebagaimana termaktub dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke-20 di Garut, Jawa Barat tahun 1976, yaitu:

Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.”
(berdasarkan hadits riwayat Ibn Abi Syaibah, Mushannaf, tahqiq: Kamal al-Hut, juz 1 hlm 490 no. 5650, 5651, 5653. Ibn al-Mundzir, Al-Awshat, juz 7, hlm 22 no: 223, hlm 23, 24, 25 no:224, 225, 226)

Lafadz takbir ‘Ied sesuai hadits riwayat Abdur Razaq dari Salman dengan sanad yang shahih, yang mengatakan:
كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar.
(lihat ash-Shan’aniy, Subul as-Salam,  Juz II: 76)
كَبِّرُوْا، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Juz III: 316)

Puasa arofah

Puasa Arafah 9 Dzulhijjah.
9 Dzulhijjah adalah tanggal istimewa bagi umat Islam yang sedang berada di tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji, karena pada tanggal ini mereka akan melakukan wukuf di Arafah yang merupakan rukun inti dari ibadah haji. Sementara itu, bagi yang belum mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji, kita juga dapat melakukan ibadah lain yang nilai pahalanya tak kalah jauh dengan wukuf di Arafah yakni dengan melaksanakan Puasa Arafah.

Hukum Puasa Arafah sendiri adalah Sunnah Muakad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Meskipun sunnah namun Puasa Arafah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan bagi umat Islam di seluruh bumi, kecuali memang ada halangan yang tak memungkinkan untuk melakukan ibadah shaum ini. Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa. Adapun waktu pelaksanaannya adalah sama dengan Wukuf di Arafah (bagi yang sedang beribadah Haji) yakni tanggal 9 Dzulhijjah. Berikut adalah Niat dan Keutamaan Puasa Arafah 9 Dzulhijjah
Keutamaan Puasa Arafah
1. Dapat menghapuskan dosa selama dua tahun yakni satu tahun sebelumnya dan satu tahun ke depan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: 
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya.” (HR. Muslim)

2. Pembebasan dari api neraka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa pembebasan dari neraka pada hari Arafah diberikan Allah bukan hanya kepada jamaah haji yang sedang wukuf, melainkan juga untuk kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan haji. Terlimpahkannya ampunan Allah terhadap dosa selama dua tahun melalui puasa Arafah sangat terkait dengan keutamaan kedua ini.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

3. Ke-Mustajab-an Doa di Puasa Arafah. Secara umum doa orang yang berpuasa akan dikabulkan oleh Allah. Ditambah lagi dengan keutamaan waktu hari Arafah yang merupakan sebaik-baik doa pada waktu itu, maka semakin kuatlah keutamaan terkabulnya doa orang yang berpuasa Arafah pada hari itu.
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ


“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir (Tidak ada Ilah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. MilikNyalah segala kerajaan dan segala pujian, Allah Maha Menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan)