Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Apabila
hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah
shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk
masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama:
Orang
yang melaksanakan shalat ‘ied tetap
wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah
pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan
kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy).
Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama:
Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua:
Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ
تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa
meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”
Ancaman
keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ
أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat
Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali
empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang
sakit.”
Ketiga:
Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib
(sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at
dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat
Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat:
Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied
adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti
suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ
شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ،
فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu
‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut
adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau
berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari
di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden
(tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja
yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”
Pendapat Kedua:
Bagi
orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at.
Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar
orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu
pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat
ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat
dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil
dari pendapat ini adalah:
Pertama:
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah
Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia
bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ
فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ «
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah
engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu
dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at)
dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa
yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi
keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka
silakan.”
Asy
Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa
hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492)
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan
hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321)
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini
dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani
dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits
ini shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah
atau dalil.
Kedua:
Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari
Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba
waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian.
Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun
menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun
mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas
sunnah].” Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan
sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan
pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu
Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair.
Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah
menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak
diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka
ini.
Kesimpulan:
·
Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk
tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para
sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
·
Pendapat kedua yang
menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri
shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas
sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini
dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai
lebih tepat.
·
Mengatakan bahwa
riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus
untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak
dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil.
Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin
pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair
bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak
shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
·
Dianjurkan bagi imam
masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri
shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal
ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied
bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man
bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى
الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ
يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at
“sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul
ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied
bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.
Hadits
ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah
ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing
shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
·
Siapa saja yang tidak
menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya
untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang
sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri
shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).
Semoga
apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar