Makna Dua Kalimat Syahadat
Kuliah
Aqidah Dr. H. Yunahar Ilyas, MA.
Untuk menerjemahkan
kalimat La Ilaha illallah ke dalam
bahasa Indonesia, terlebih dahulu harus memahami susunan kalimatnya dalam
bahasa Arab.
La yang terdapat pada awal kalimat adalah La nafiyata
liljinsi, yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis Ilah. Illa adalah
huruf istisna (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis
Ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamai kalimat manfi (negatif) lawan dari
kalimat mutsbat (positif). Kata illa berfungsi mengitsbatkan kalimat yang
manfi.
Dalam kaidah bahasa Arab, itsbat sesudah manfi itu mempunyai maksud al
hashr (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat Tauhid ini
mengandung pengertian: Sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut
Tuhan selain Allah SWT semata.
Oleh karena itu, ikrar La
Ilaha illallah bersifat komprehensif, mencakup banyak pengertian, di
antaranya:
1.
La Khaliqa illallah (tidak
ada Yang Maha Mencipta kecuali Allah)
2.
La Raziqa illallah (tidak ada
Yang Maha Memberi rezeki kecuali Allah)
3.
La Hafizha illallah (tidak
ada Yang Maha Memelihara kecuali Allah)
4.
La Mudabbira illallah (tidak
ada Yang Maha Mengelola kecuali Allah)
5.
La Malika illallah (tidak ada
Yang Maha Memiliki kecuali Allah, tidak ada
Yang Maha Memiliki Kerajaan kecuali Allah)
6.
La Waliyya illallah (tidak
ada Yang Maha Memimpin kecuali Allah)
7.
La Hakima illallah (tidak ada
Yang Maha Menentukan perturan kecuali Allah)
8.
La Ghayata illallah (tidak
ada Yang Maha Menjadi Tujuan kecuali Allah)
9.
La Ma’buda bi-haqqin illallah
(tidak ada Yang berhak Disembah kecuali Allah).
Hakikat dan Dampak Dua
Kalimat Syahadat
Ikrar La Ilaha illallah tidak
akan dapat diwujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu ikrar tersebut harus diikuti dengan ikrar Muhammad
Rasulullah. Dua ikrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat syahadat
(syahadatain) yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah SWT.
Kata “Asyhadu” secara etimologis berakar dari kata sya-ha-da yang
mempunyai tiga pengertian: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan
half (sumpah). Ketiga pengertian itu dipakai di dalam Al-Qur`an, antara lain:
يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ [٨٣:٢١]
“Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan
(kepada Allah)” (Al-Muthaffifin 21).
فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا [٦٥:٢]
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...” (Ath-Thalaq 2),
إِذَا جَاءَكَ
الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ
يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ [٦٣:١]
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka
berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu
benar-benar orang pendusta” (Al-Munafiqun 1).
Di antara ketiga pengertian di atas terdapat relevansi yang kuat. Seseorang
akan bersumpah bila dia memberi kesaksian, dan dia akan memberikan kesaksikan
bila dia menyaksikan.
Berdasarkan pengertian etimologis di atas maka syahadat seseorang (bahwa
sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah semata, dan sesungguhnya Muhammad itu
utusan Allah) harus mencakup ketiga pengertian di atas: musyahadah (dengan hati
dan pikiran), syahadah (dengan lisan), dan half (dengan menghilangkan segala
keraguan). (Al-Islam, 1979, 26-27).
Kalau inti dari syahadat yang
pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT semata, maka inti dari syahadat
kedua adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai titik pusat keteladanan (uswah
hasanah) baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablun minallah) secara
vertikal, maupun dalam hubungan dengan manusia (hablun minannas) secara
horisontal.
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [٣٣:٢١]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab 21).
Bila ikrar La Ilaha illallah dan
Muhammadur-Rasulullah dipahami secara benar, tentu akan memberikan dampak
positif yang besar kepada setiap pribadi Muslim, yang antara lain dapat diukur
dari dua sikap yang dilahirkan yaitu
Cinta dan Ridha (al-mahabbah war-Ridha) kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seorang Muslim yang
mengikrarkan dua kalimat syahadat akan memberikan cinta yang pertama dan utama
sekali kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah SAW dan jihad fi sabilillah
(Al-Baqarah 165, At-Taubah 24).Dia harus menempatkan cinta kepada anak-anak,
suami atau istri, saudara-saudara, anak keturunan, harta benda, pangkat, dan
lain-lain sebagainya (yang boleh dicintainya) di bawah cinta yang utama.
Perhatikan firman Allah SWT berikut ini:
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ
أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ [٢:١٦٥]
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (Al-Baqarah
165).
قُلْ إِنْ كَانَ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي
سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [٩:٢٤]
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”
(At-Taubah 24).
Seorang Muslim yang
mengikrarkan dua kalimat syahadat juga akan memiliki sikap ridha di dalam
dirinya. Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya, ridha lahir-batin dengan segala
putusan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada sedikit pun rasa tidak puas di hatinya.
Dalam surat An-Nisa` 65 Allah
menafikan iman seseorang sebelum dia ridha bertahkim kepada Rasulullah SAW
(Islam) dan menerima keputusan beliau dengan sepenuh hati, tanpa ada sedikit
pun rasa haraj (penolakan dalam hati). Bahkan penolakan (nafi) itu didahului
oleh sumpah dengan diri-Nya sendiri:
فَلَا وَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [٤:٦٥]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”
(An-Nisa` 65).
Cinta dan ridha itu harus
diwujudkan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya perhatikan ayat berikut:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ [٣:٣١]
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran 31).
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا [٤:٨٠]
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (An-Nisa` 80).
Taat kepada Allah dan
Rasul-Nya itu hanya dapat direalisasikan secara benar dengan mematuhi semua
ajaran Islam, sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah SWT:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” (Ali Imran 19).
أَفَغَيْرَ دِينِ
اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا
وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ [٣:٨٣]
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama
Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan” (Ali Imran 83).
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ [٢:٢٠٨]
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
(Al-Baqarah 208).
Masuk Islam harus secara total (kaffah) dalam seluruh kehidupan, baik
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara maupun internasional. Baik yang
berhubungan dengan aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, seni, militer
maupun aspek-aspek lainnya.
Misalnya, dari seorang Muslim yang benar-benar memahami dua kalimat
syahadat dan konsekuen dengan ikararnya itu, bila dia menjadi seorang pakar
ekonomi, dia akan menyaring segala macam teori ekonomi yang pernah dikenalnya
dengan menggunakan filter “syahadatain”, dan merumuskan teori-teori ekonomi
baru dengan “paradigma” syahadatain sehingga dari pakar tersebut lahirlah
teori-teori ekonomi yang islami atau sistem ekonomi Islam. Demikian pula dalam
aspek politik, hukum, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Banjarnegara 3 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar