Kamis, 09 Juli 2015

Makna syahadah

Makna Dua Kalimat Syahadat
Kuliah Aqidah Dr. H. Yunahar Ilyas, MA.
Untuk menerjemahkan kalimat La Ilaha illallah ke dalam bahasa Indonesia, terlebih dahulu harus memahami susunan kalimatnya dalam bahasa Arab.
La yang terdapat pada awal kalimat adalah La nafiyata liljinsi, yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis Ilah. Illa adalah huruf istisna (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis Ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamai kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positif). Kata illa berfungsi mengitsbatkan kalimat yang manfi.
Dalam kaidah bahasa Arab, itsbat sesudah manfi itu mempunyai maksud al hashr (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat Tauhid ini mengandung pengertian: Sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah SWT semata.
Oleh karena itu, ikrar La Ilaha illallah bersifat komprehensif, mencakup banyak pengertian, di antaranya:
1.    La Khaliqa illallah (tidak ada Yang Maha Mencipta kecuali Allah)
2.    La Raziqa illallah (tidak ada Yang Maha Memberi rezeki kecuali Allah)
3.    La Hafizha illallah (tidak ada Yang Maha Memelihara kecuali Allah)
4.    La Mudabbira illallah (tidak ada Yang Maha Mengelola kecuali Allah)
5.    La Malika illallah (tidak ada Yang Maha Memiliki kecuali Allah, tidak ada    Yang Maha Memiliki Kerajaan kecuali Allah)
6.    La Waliyya illallah (tidak ada Yang Maha Memimpin kecuali Allah)
7.    La Hakima illallah (tidak ada Yang Maha Menentukan perturan kecuali ­Allah)
8.    La Ghayata illallah (tidak ada Yang Maha Menjadi Tujuan kecuali Allah)
9.    La Ma’buda bi-haqqin illallah (tidak ada Yang berhak Disembah kecuali ­Allah).
Hakikat dan Dampak Dua Kalimat Syahadat
Ikrar La Ilaha illallah tidak akan dapat diwujudkan secara benar tanpa mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu ikrar tersebut harus diikuti dengan ikrar Muhammad Rasulullah. Dua ikrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat syahadat (syahadatain) yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah SWT.
Kata “Asyhadu” secara etimologis berakar dari kata sya-ha-da yang mempunyai tiga pengertian: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan half (sumpah). Ketiga pengertian itu dipakai di dalam Al-Qur`an, antara lain:
يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ [٨٣:٢١]
“Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)” (Al-Muthaffifin 21).
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ  ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا [٦٥:٢]
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...” (Ath-Thalaq 2),
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ  وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ [٦٣:١]
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesung­guhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta” (Al-Munafiqun 1).
Di antara ketiga pengertian di atas terdapat relevansi yang kuat. Seseorang akan bersumpah bila dia memberi kesaksian, dan dia akan mem­berikan kesaksikan bila dia menyaksikan.
Berdasarkan pengertian etimologis di atas maka syahadat seseorang (bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah semata, dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah) harus mencakup ketiga pengertian di atas: musyahadah (dengan hati dan pikiran), syahadah (dengan lisan), dan half (dengan menghilangkan segala keraguan). (Al-Islam, 1979, 26-27).
Kalau inti dari syahadat yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT semata, maka inti dari syahadat kedua adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai titik pusat keteladanan (uswah hasanah) baik dalam hubungan dengan ­Allah SWT (hablun minallah) secara vertikal, maupun dalam hubungan dengan manusia (hablun minannas) secara horisontal.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [٣٣:٢١]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab 21).
Bila ikrar La Ilaha illallah dan Muhammadur-Rasu­­lullah dipahami secara benar, tentu akan memberikan dampak positif yang besar kepada setiap pribadi Muslim, yang antara lain dapat diukur dari dua sikap yang dilahirkan yaitu Cinta dan Ridha (al-mahabbah war-Ridha) kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seorang Muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat akan memberikan cinta yang pertama dan utama sekali kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah SAW dan jihad fi sabilillah (Al-Baqarah 165, At-Taubah 24).Dia harus menempatkan cinta kepada anak-anak, suami atau istri, saudara-saudara, anak keturunan, harta benda, pangkat, dan lain-lain sebagainya (yang boleh dicintainya) di bawah cinta yang utama. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ  وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ  وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ [٢:١٦٥]
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (Al-Baqarah 165).
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ  وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [٩:٢٤]
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah men­datang­kan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (At-Taubah 24).

Seorang Muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat juga akan memiliki sikap ridha di dalam dirinya. Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya, ridha lahir-batin dengan segala putusan ­Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada sedikit pun rasa tidak puas di hatinya.

Dalam surat An-Nisa` 65 Allah menafikan iman seseorang sebelum dia ridha bertahkim kepada Rasulullah SAW (Islam) dan menerima keputusan beliau dengan sepenuh hati, tanpa ada sedikit pun rasa haraj (penolakan dalam hati). Bahkan penolakan (nafi) itu didahului oleh sumpah dengan diri-Nya sendiri:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [٤:٦٥]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa` 65).

Cinta dan ridha itu harus diwujudkan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya perhatikan ayat berikut:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [٣:٣١]
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran 31).
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا [٤:٨٠]
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesung­guhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (An-Nisa` 80).

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya itu hanya dapat direalisasikan secara benar dengan mematuhi semua ajaran Islam, sebagai satu-satu­nya agama yang benar dan diridhai Allah SWT:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” (Ali Imran 19).
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ [٣:٨٣]
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (Ali Imran 83).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ  إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ [٢:٢٠٨]
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah 208).
Masuk Islam harus secara total (kaffah) dalam seluruh kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara maupun internasional. Baik yang berhubungan dengan aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, seni, militer maupun aspek-aspek lainnya.
Misalnya, dari seorang Muslim yang benar-benar memahami dua kalimat syahadat dan konsekuen dengan ikararnya itu, bila dia menjadi seorang pakar ekonomi, dia akan menyaring segala macam teori ekonomi yang pernah dikenalnya dengan menggunakan filter “syahadatain”, dan merumuskan teori-teori ekonomi baru dengan “paradigma” syahadatain sehingga dari pakar tersebut lahirlah teori-teori ekonomi yang islami atau sistem ekonomi Islam. Demikian pula dalam aspek politik, hukum, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Banjarnegara 3 Juli 2006



Tidak ada komentar:

Posting Komentar