DELAPAN SIFAT
ORANG YANG SUKSES PUASA RAMADHAN
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ
مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
“Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia… “ (QS. 3 Ali ‘Imran 112)
Pada kesempatan mulia ini hendaknya kita selalu
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahnya pada kita, sehingga saat ini kita masih tetap dalam keadaan Iman dan
Islam. Shalawat serta salam kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
penghulu semua Nabi, teladan umat manusia yang selalu menjalin hubungan dengan
Allah dan hubungan sesama manusia, keluarga, serta para shahabat dan para pengikutnya
yang selalu setia dan berjuang untuk mencapai kebenaran dan keadilan serta
ridha Allah SWT.
Bulan Syawal, adalah bulan pengharapan dan peningkatan,
disebut bulan pengharpan dan peningkatan, karena bulan Syawal ini, umat Islam
telah mampu menjalankan dua aktifitas ibadah suci yakni puasa Ramadhan yang
kemudian disusul dengan Takbir dan shalat ‘Idul Fitri, datangnya bulan syawal
serta disambung dengan sillaturrahim.
Kalau kita mengingat dan merenungkan shaum ramandhan yang
baru saja kita jalankan, akan kita rasakan bahwa ibadah puasa itu sama sekali
bukanlah ibadah fisik, akan tetapi merupakan ibadah spiritual yang bersifat
kejiwaan yang sarat dengan masalah sosial.
Rukun fisik untuk menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan seks, adalah representasi dari keharusan setiap orang Islam yang
berpuasa untuk memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu manusia yang melekat
dalam dirinya. Nafsu yang selalu mengotori fitrah manusia. Nafsu yang selalu
membelokkan manusia dari keharusan tunduk dan beribadah kepada Allah Yang Maha
Pencipta dalam konteks “hablumminallah”. Dan nafsu yang senantiasa mengotori
jiwa manusia dari ketulusan dalam membina hubungan baik dan berbuat baik dengan
sesama manusia dalam konteks “habluminannas”.
Karena itu, berbahagialah kita yang dapat memenangkan
perjuangan melawan hawa nafsu dibulan Ramadhan. Dan sungguh merugilah mereka
yang terkalahkan, yang tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan
dahaga. Maka sangat pararel jika setelah
bulan Ramandhan usai, umat Islam memasuki Idul Fitri di bulan Syawal. Hari
tempat kembali ke fitrah, kembali kepada kesucian. Hari milik siapa? Tentu hari untuk setiap muslim yang
memenangkan pertempuran di bulan Ramandhan yang penuh tantangan. Bukan hari
untuk mereka yang kalah dalam ber puasa.
Karena itu pula, seyogyanya di hari penutup bulan
Ramandhan dan Idul Fitri 1 Syawal, setiap muslim merenungkan ulang dan
melakukan muhasabah diri. Sudah berapa jauh kah ibadah yang ditunaikan di bulan
penuh berkah itu, sudahkah membuahkan ketakwaan sebagaimana yang dituju oleh
ibadah puasa? Adakah ibadah puasa itu membawa kita kembali kepada fitrah
kemanusian sebagai makhluk dan hamba Allah dengan segala tugas hidup yang harus
ditunaikan ? pertanyaan bernada gugatan ini kiranya perlu bagi setiap muslim
yang berpuasa. Sebab tidak dengan sendirinya bahwa begitu selesai menunaikan
ibadah puasa, seketika itu pula derajat ketakwaan dengan mudah dapat disandang,
dan seketika itu pula kita kembali menjadi pribadi yang fitri, tanpa
mempertanyakan kualitas dan proses yang ditempuh dari ibadah lainnya di bulan
Ramandhan itu.
Jika hari raya ‘Idul Fitri sebagai rangkaian akhir dari
ibadah puasa di bulan ramadhan disebut hari untuk “kembali kepada fitrah “, apa
arti semua itu? Artinya, bahwa puasa dengan segala rangkaian ibadah yang
dilaksanakan di bulan ramandhan itu baru dapat dikatakan berhasil jika ia
benar-benar dapat menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran pada orang yang berpuasa
akan fitrah kemanusian dirinya sebagai manusia yang bertaqwa (al-muttaqun).
Menurut firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, setidaknya ada
beberapa sifat yang nampak pada diri orang yang berhasil melaksanakan puasa di
bulan ramandhan antara lain sebagai berikut :
Yang pertama, beriman kepada yang ghaib (alladzina
yu’ minuuna bilghaibi…), beriman kepada yang ghaib yakni meyakini hal-hal yang
tidak dapat ditangkap dan diraba oleh panca indera, seperti beriman kepada
Allah, malaikat, jin atau syaitan, beriman kepada hari qiyamat dengan syurga
dan nerakanya. Manusia yang demikian, dalam melakukan aktivitas hidupnya akan
selalu merasa adanya pengawasan Zat yang Maha dari segala maha, sehingga mereka
tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama dan norma kehidupan.
Yang kedua, senantiasa mendirikan shalat,
“wayuqiimuunash shalaata…”, mendirikan shalat yaitu melaksanakan dan mewujudkan
nilai–nilai ibadah shalat itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam ibadah
shalat itu banyak sekali terkandung nilai- nilai luhur yang dapat kita
aplikasikan dalam kehidupan, mulai dari bersuci, takbiratul ikhram, ruku’,
sujud, duduk dan berdiri. Apalagi shalat berjamaah, disitu terdapat nilai-nilai
luhur dan petunjuk-petunjuk yang indah dalam membangun kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maka tidaklah berlebihan jikalau Rasulullah SAW
mengatakan bahwa shalat itu merupakan barometer (ukuran) perbuatan seseorang
dan merupakan amal yang pertama kali diperiksa di hari akhir kelak. Sebagaimana
sabdanya dalam hadits yang diriwayatkan Tabrani dari Abdillah ibnu Qortin ra.
Berikut : “Masalah pertama yang akan diperiksa dari seorang hamba dihari
qiamat adalah shalat, jika baik shalatnya, maka baik pula seluruh amalnya. Jika
rusak shalatnya, maka rusaklah seluruh amalnya
Yang ketiga, senantiasa meng infakkan hartanya di
jalan Allah, “ wamima razaqnaahum yunfiquun…”, menginfaqkan harta dijalan Allah
adalah senantiasa turut berpartisipasi dengan hartanya dalam perjuangan
menegakkan dan mendakwahkan ajaran dan hukum Allah (dienul Islam).
Yang
ke empat, Beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya. (Qs. Al-Baqarah 3-4), Beriman kepada Al-Qur’an yaitu menjadikan
Al-Qur’an sebagai Imam, sebagai petunjuk dan pembimbing dalam menjalani
kehidupan untuk menggapai kebahagiaan di dunia hingga di akhirat kelak. Apalagi
pada masa sekarang ini tantangan yang dihadapi umat Islam semakin komplek, baik
dari luar maupun dari dalam. Seperti yang dilakukan oleh Tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama RI terhadap Kompilasi Hukum Islam, yang mana mereka
dengan berani merubah hukum-hukum yang telah baku dalam Al-Qur`an menurut nafsu
dan pikirannya. Seperti misalnya masalah hukum perkawinan, hukum waris, dan
lain-lain.
Oleh
karena itu orang yang berhasil melaksanakan shaum adalah mereka yang mencintai,
membaca, mengkaji, dan mengamalkan Al-Qur`an dalam kehidupannya sehari-hari.
Yang ke lima, berinfaq baik dalam keadaan lapang
maupun sempit. “ alladziina yunfiqun fis-sarraa’I wadh dharra’i…”, apalagi
dimasa seperti sekarang ini, kehadiran orang-orang yang suka berinfaq ini
sangat diharapkan. Karena banyak saudara-saudara kita yang tertimpa musibah,
anak yang kehilangan ibu dan bapaknya, istri yang kehilangan suaminya, dan
masih banyak lagi deretan penderitaan saudara kita itu.
Yang ke enam, Mampu menahan marah, marah saudara
adalah sumber mala petaka, timbulnya benturan antar kelompok, perkelaian
pelajar, mahasiswa dan antar suku sering kali terjadi karena tidak bisa menjaga
dan mengendalikan nafsu amarah (kejolak emosi). Dan puasa mendidik kita untuk
dapat mengendalikan hawa nafsu sehingga kita menjadi orang yang dewasa dalam
menyikapi segala sesuatu yang terjadi disekitar kita.
Yang ke tujuh, mudah memberi maaf kepada orang
lain. “wal ‘aafiina ‘aninnaasi…”. Pemaaf adalah salah satu sifat dan perbuatan
yang dicontohkan oleh rasulullah SAW, karena sifat mudah memberi maaf ini dapat
menghilangkan rasa dendam, iri dan dengki sehingga persaudaraan atau ukhuwah
diantara sesama umat akan mudah dicapai.
Yang
ke delapan, jika melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
ia segera ingat pada Allah dan memohon ampun atas segala dosa-dosanya dan
berjanji tidaka mengulanginya, serta selalu melakukan amal kebajikkan. (QS.3 :
133-135)
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ()الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. orang yang demikianlah
yang berhasil melaksanakan puasa di bulan ramandhan dan mendapat peringkat yang
mulia disisi Allah SWT serta ampunan–Nya dan syurga yang mengalir sungai-sungai
didalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. QS,3:136.
أُولَئِكَ
جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari
Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.
Demikialah saudaraku sekalian beberapa sifat-sifat
orang yang bertaqwa atau orang yang berhasil menunaikan shaum di bulan
ramandhan. Akhirnya mari kita berdoa memohon ampunan dan ridha dari Allah SWT
agar kiranya kita di mudahkan segala urusan, selain daripada itu kita mohon
agar selalu diberikan rahmat, taufiq dan hidayah Nya kepada kita semua sehingga
kita dapat mencapai hidup rukun, aman dan damai, dan semoga Tadzkir yang ringkas
dan sederhana ini dapat menggugah kesadaran saudara sekalian untuk menuju
masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Baldatun thayyi batun warobun ghafur. Amin yaa rabbal ‘alaamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar