Kamis, 31 Juli 2014

Tafsir al fatikhah

TAFSIR QS AL FATIHAH


Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda : Allah سبحانه و تعالى  berfirman:

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca: “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” HR. Muslim

Jika seseorang memperhatikan hal ini, Surat al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat, yaitu tiga setengah untuk Allah dan tiga setengah untuk hamba-Nya. sesungguhnya ada dua bagian. Bagian milik Allah, yaitu bagian awal sampai ucapan “Iyyaka na’budu…”. Kemudian ada bagian bagi hambanya ialah doa yang diucapkannya untuk dirinya. Ketahuilah bahwa Allah lah yang mengajarkan semua ini dan Allah pula yang memerintahkan untuk berdoa dengan bacaan itu dengan mengulang-ulangnya setiap rakaat. Sesungguhnya Allah pula yang menjamin terkabulnya doa ini jika dilakukan dengan ikhlas diiringi kehadiran hati . Maka jelaslah bahwa hal ini luput dari kebanyakan manusia.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”.
Ketahuilah, Al Hamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”. Maka dikecualikan dari hal itu berupa pujian secara perbuatan yang dinamakan “lisanul hal” karena yang demikian merupakan bagian dari perbuatan syukur.

Dan ucapan “atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya” maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang atas kehendak-Nya. Adapun besarnya kebaikan yang tidak diperbuat untuk Allah di dalamnya seperti “indah” dan semisalnya, pujian demikian itu dinamakan dengan istilah “madah”, bukan “hamd”

Perbedaan antara “Al-Hamdu - pujian” dan “syukur – terima kasih” ialah :
Al-Hamdu, padanya terkandung makna “madah” dan “tsana” terhadap yang dipuji dengan menyebutkan segala keutamaannya, baik apakah itu perbuatan ihsan kepada pengucap pujian atau pun tidak.
Adapun syukur hanya semata terkait rasa terimakasih semata atas satu perbuatan yang dialamatkan rasa syukur itu kepadanya.

Dari sisi ini jelas bahwa al-Hamdu itu lebih umum dari syukur, karena mencakup kebaikan dan juga perbuatan baiknya. Allah terpuji atas nama-namanya yang baik, Asmaul husna serta apa-apa yang Allah ciptakan di awal dan di akhir. Maka Allah berfirman :

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. Al Isra 111)

Dan juga :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ۖ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ [٦:١]
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir  (Al-An’am:1)
Adapun “syukur, terima kasih” adalah ucapan yang hanya dialamatkan atas jasa yang telah memberikan nikmat saja. Maka dari sisi ini dia lebih khusus daripada al-Hamdu. Tetapi ucapan ini dilakukan melalui hati, tangan, dan lisan. Maka Allah berfirman :
Beramallah, Hai keluarga Daud dengan rasa syukur

Adapun al-Hamdu dilakukan dengan hati dan lisan saja. Maka jika dari sisi jenis, syukur lebih umum dari al-Hamdu dan dari sisi sebab al-Hamdu lebih umum dari syukur.

Alif lam pada ucapan al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan untuk makhluk seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata, langit dan bumi, rizki dan lainnya maka sudah jelas. Adapun untuk pujian kepada makhluk semisal pujian kepada orang-orang saleh, para nabi dan rasul, dan mereka yang berbuat ma’ruf maka secara khusus jika diperluas kepadamu.

Semua ini juga bagi Allah dari segi Dia-lah yang jadikan sebab pelaku, dan memberinya apa yang telah dia berbuat itu,   dan mencintai dia dan memberi dia kekuatan dan lainnya dari keagungan Allah yang apa bila gagal salah satunya maka tidaklah dipuji maka semua pujian kepada Allah ini merupakan ganjaran.

Adapun ucapan “لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ” maka Allah merupakan nama Tuhan yang maha kuasa. Artinya : Al-ilah[1] ialah al-ma’bud. Sebagaimana firmannya :
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. (al-an'am,3).
Yaitu disembah dilangit dan di bumi.
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا [١٩:٩٣]
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.  (Maryam, ayat: 93)

Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur.

Sedangkan alamiin adalah kata untuk setiap yang selain Allah. Maka setiap raja, nabi, manusia, jin dan selainnya selain Allah merupakan hamba yang diatur, tunduk dengan segala tindakannya, tidak ada sekutu bagi_nya dalam agama. Yang Maha Kaya dan Tempat Bergantung

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Arrahmaanir rahim” merupakan dua kata pecahan dari “rahmah” yang makna salah satunya lebih luas dari lainnya. Seperti kata “allaam” dan “aliim”. Ibnu Abbas berkata, “Keduanya merupakan dua kata yang tipis perbedaannya. Salah satunya lebih tipis dari yang lainnya. Yaitu salah satunya bermakna “lebih banyak rahmatnya””.

Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’.

Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah سبحانه و تعالى. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah سبحانه و تعالى

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
maaliki yaumiddin “atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin. Disebutkan diawal surat, yaitu awal mushaf tentang uluhiyah, rububiyah, dan muluk, sebagaimana disebutkan pula di akhir mushaf :
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ
Artinya : Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. (An-Naas:1-2)

Ini adalah tiga  deskripsi tuhan, disebutkan dalam satu grup di awal qur'an,  dan kemudian disebutkan dalam satu grup di akhir qur'an dari apa yang kamu dengar dari qur'an. Maka hendaknya diperhatikan topik ini. Sesungguhnya Yang Maha Mengetahui menggabungkan antara keduanya itu karena pentingnya seorang hamba memahaminya dan mengetahui perbedaan sifat-sifat-Nya.

Setiap sifat Allah memilik makna yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana disebut “Muhammad rasulullah”, “penutup para nabi”, “pemimpin anak-anak Adam”; setiap sifat tersebut memiliki makna yang berbeda satu dengan yang lain.

Jika telah paham bahwa makna Allah adalah al ilah, sembahan, maka pahamilah bahwa sembahan itu merupakan sesuatu yang diibadahi. Maka jika engkau berdoa, menyembelih, bernadzar, lakukanlah untuk Allah. Jika engkau berdoa, menyembelih, dan bernadzar kepada makhluk baik itu bagus maupun jelek maka sesungguhnya engkau telah menjadikan dia sembahan.
وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [٧:١٤٩]
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi".(al-A'raf, ayat: 149).

Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur. Allah adalah raja segala sesuatu dan dia pula lah yang mengurus mereka, demikianlah sebenarnya.

Tetapi para penyembah berhala yang dahulu diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menetapkan demikian sebagaimana dalam firman Allah :
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ [١٠:٣١]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"(Yunus:31)

Maka siapapun yang memohon pertolongan dan agar permintaannya dikabulkan kemudian berdoa kepada makhluk dengan menyandarkan padanya maka ini merupakan peribadatan semisal mengucapkan “dari si Fulan hambamu” atau “hamba Ali” atau “Hamba Nabi” atau “Hamba Zubair” maka telah menetapkan ketuhanan rububiyah mereka.

Maka dengan berdoa kepada Ali atau Zubair bersamaan dengan berdoa kepada Allah berarti menetapkan peribadatan kepada mereka. Harapannya agar mereka mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan dengan menamai diri mereka sebagai hamba dari orang yang diibadahi tersebut merupakan bentuk penuhanan makhluk.

Semoga Allah merahmati hambanya yang mengingatkan dirinya serta peduli terhadap perkara ini dengan bertanya pada para ulama’. Karena para ulama merupakan orang-orang yang berada di jalan yang lurus. Sudahkan mereka menafsirkan surat tadi dengan benar?

Adapun malik maka penjelasannya adalah maaliki yaumiddinatau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddinmaknanya menurut kebanyakan ahli tafsir adalah sebagaimana Allah menafsirkannya sendiri :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ , ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ . يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا ۖ وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? , Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (Al-Infithar:17-19).

Jika memahami ayat ini dan pengkhususan penguasa dari hari pembalasan – dan Allah adalah penguasa segala sesuatu baik hari itu maupun hari lainnya- maka jelas bahwa pengkhususan ini merupakan perkara besar yang menjadikan sebab seorang hamba berhak masuk ke dalam surga serta yang bodoh terhadapnya menjadi sebab masuk neraka.

Bahkan merekalah yang menantang kami dengan kekafiran dan perang ketika :
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
 Artinya : “Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jin:18)

dan dalam firman-Nya :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا [١٧:٥٧]
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.  (Al-Israa’:57).

Dan dalam firman-Nya :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ ۖ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ ۚ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ [١٣:١٤]
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (Ar-Ra’d:14).

Demikianlah sebagian makna maliki yaumiddin berdasarkan ijma mufassirin dan Allah pun telah menjelaskan sebagaimana dalam ayat surat Al-Infithar diatas.
Maka biasakanlah membaca al-Fatihah dengan kehadiran hati dan penuh rasa tunduk dan takut.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Adapun Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain, maka ibadah merupakan kesempurnaan cinta dan kesempurnaan ketaatan, takut dan tunduk.
Dalam ayat ini maf’ul-nya didahulukan yaitu iyyaka dan diulang dua kali unuk menegaskan bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami bertawakal. Inilah yang disebut kesempurnaan ketaatan.

Adapun agama seluruhnya kembali kepada dua makna yaitu, berlepas dari syirik dan berlepas dari daya dan kekuatan selain Allah. “Hanya kepadamu kami menyembah” maknanya hanya kepadamu kami mengesakan dengan menegaskan perjanjianmu dengan Allah untuk tidak mempersekutukan-Nya dalam perkara ibadah. Tidak untuk nabi dan tidak untuk malaikat. Sebagaimana ucapan-Nya kepada para sahabat :
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [٣:٨٠]
dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?"(Ali Imran:80)
Perhatikanlah ayat ini dan pahami tentang rububiyah-Nya. Adapun Iyyaka nastain, ini merupakan dua perkara yang salah satunya berupa permohonan pertolongan kepada Allah berupa tawakal dan keterlepasan dari daya dan kekuatan selain-Nya. Selain itu juga permohonan pertolongan kepada Allah sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu termasuk bagian milik hambanya.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Ihdinash shiratal mustaqim, ini merupakan doa dengan memohon rizki dari Allah dengan permintaan besar ini, yang tidak ada karunia yang lebih besar di dunia dan akhirat dari ini. Sebagaimana Allah mengaruniakan pada Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam waktu Fathu Makkah :
 وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا [٤٨:٢]
dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,  (Al-Fath:2)

Kata hidayah pada ayat diatas berarti taufik dan petunjuk. Maka perhatikanlah masalah ini. Dengan demikian, pada hidayah terkandung ilmu sekaligus amal saleh yang istiqamah, sempurna, dan senantiasa konsisten sampai berjumpa dengan Allah nanti.

Ash Shirath, yaitu jalan yang terang lagi lurus tidak bengkok. Maksudnya adalah agama yang Allah turunkan melalui rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka” (al-Fatihah:7).

Mereka yang dimaksud adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Engkau senantiasa membacanya pada setiap rakaat dengan memohon kepada Allah hidayah agar selalu berada di jalan mereka.
Maka wajib diyakini kebenaran jalan ini. Adapun jalan-jalan, ilmu, maupun ibadah lain yang menyelisihinya bukanlah dia jalan yang lurus. Inilah kewajiban pertama pada ayat ini dengan meyakininya dalam hati serta waspada dari tipu daya setan.
Yaitu meyakini secara umum tetapi tidak perduli terhadap rinciannya. Sesungguhnya orang-orang yang batal keislamannya meyakini kebenaran risalah nabi dan memahami siapapun yang menyelisihinya batil. Tetapi jika datang hal-hal yang tidak sejalan hawa nafsu mereka, maka sebagaimana dalam ayat :
فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ [٥:٧٠]
 Artinya : (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (Al-Maidah:70)

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Adapun ­ghairil maghdub bi ‘alaihim waladh dhaalliin, maka yang dimaksud “mereka yang dimurkai” adalah para ulama’ yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Sedangkan “mereka yang sesat” adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu.
Yang pertama itu merupakan sifat orang-orang yahudi, sedangkan yang kedua merupakan sifat orang-orang nasrani.

Kebanyakan orang jika melihat tafsir -bahwasannya Yahudi adalah yang dimaksud dengan “mereka yang dimurkai” dan Nasrani sebagai “mereka yang sesat”- menyangka dengan bodohnya bahwa yang dimaksud sebatas mereka saja.
Orang-orang ini yakin bahwa Tuhannya dengan ayat itu mewajibkan mereka berdoa dan berlindung dari jalan mereka yang disifati menyimpang dalam ayat ini.
Maha Suci Allah, bagaimana bisa Allah mengajarkan mereka dan membimbing jalan bagi mereka serta mewajibkan mereka senantiasa berdoa dengan ayat ini tetapi mereka tidak merasa diperingatkan dari peringatan Allah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka pun termasuk pelaku yang diperingatkan. Inilah persangkaan yang buruk pada Allah, wallahu a’lam. Ini bagian terakhir penjelasan al-Fatihah.

Adapun ucapan amien bukan termasuk dalam al-Fatihah melainkan sebagai permohonan pengabulan doa yang artinya “Ya Allah, kabulkanlah”. Maka wajib mengajarkan orang-orang yang jahil agar mereka tidak menyangka hal ini bagian dari ayat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar