TAFSIR QS AL FATIHAH
Diriwayatkan
dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی
الله عليه وسلم bersabda : Allah سبحانه
و تعالى berfirman:
قَسَمْتُ
الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ
{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،
وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Aku
membagi shalat (yakni surat
Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku.
Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku
telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca:
“Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan
hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab: “Ini
separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca: “Tunjukilah
kami kepada jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri
ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk
hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” HR. Muslim
Jika seseorang
memperhatikan hal ini, Surat
al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat, yaitu tiga setengah untuk Allah dan tiga
setengah untuk hamba-Nya. sesungguhnya ada dua bagian. Bagian milik Allah,
yaitu bagian awal sampai ucapan “Iyyaka
na’budu…”. Kemudian ada bagian bagi hambanya ialah doa yang diucapkannya
untuk dirinya. Ketahuilah bahwa Allah lah yang mengajarkan semua ini dan Allah
pula yang memerintahkan untuk berdoa dengan bacaan itu dengan
mengulang-ulangnya setiap rakaat. Sesungguhnya Allah pula yang menjamin
terkabulnya doa ini jika dilakukan dengan ikhlas diiringi kehadiran hati . Maka
jelaslah bahwa hal ini luput dari kebanyakan manusia.
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”.
Ketahuilah, Al
Hamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”.
Maka dikecualikan dari hal itu berupa pujian secara perbuatan yang dinamakan “lisanul hal” karena yang demikian
merupakan bagian dari perbuatan syukur.
Dan ucapan “atas
besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya” maksudnya perbuatan yang dilakukan
seseorang atas kehendak-Nya. Adapun besarnya kebaikan yang tidak diperbuat
untuk Allah di dalamnya seperti “indah” dan semisalnya, pujian demikian itu
dinamakan dengan istilah “madah”, bukan “hamd”
Perbedaan antara
“Al-Hamdu - pujian” dan “syukur – terima kasih” ialah :
Al-Hamdu,
padanya terkandung makna “madah” dan “tsana” terhadap yang dipuji dengan
menyebutkan segala keutamaannya, baik apakah itu perbuatan ihsan kepada
pengucap pujian atau pun tidak.
Adapun syukur
hanya semata terkait rasa terimakasih semata atas satu perbuatan yang
dialamatkan rasa syukur itu kepadanya.
Dari sisi ini
jelas bahwa al-Hamdu itu lebih umum dari syukur, karena mencakup kebaikan dan
juga perbuatan baiknya. Allah terpuji atas nama-namanya yang baik, Asmaul husna serta apa-apa yang Allah
ciptakan di awal dan di akhir. Maka Allah berfirman :
وَقُلِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ
تَكْبِيرًا
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula
hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebesar-besarnya. Al Isra 111)
Dan juga :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ۖ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ [٦:١]
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan
bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir (Al-An’am:1)
Adapun “syukur,
terima kasih” adalah ucapan yang hanya dialamatkan atas jasa yang telah
memberikan nikmat saja. Maka dari sisi ini dia lebih khusus daripada al-Hamdu.
Tetapi ucapan ini dilakukan melalui hati, tangan, dan lisan. Maka Allah
berfirman :
“Beramallah, Hai keluarga Daud dengan rasa
syukur”
Adapun al-Hamdu
dilakukan dengan hati dan lisan saja. Maka jika dari sisi jenis, syukur lebih
umum dari al-Hamdu dan dari sisi sebab al-Hamdu lebih umum dari syukur.
Alif lam pada
ucapan al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah
semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan
untuk makhluk seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata,
langit dan bumi, rizki dan lainnya maka sudah jelas. Adapun untuk pujian kepada
makhluk semisal pujian kepada orang-orang saleh, para nabi dan rasul, dan
mereka yang berbuat ma’ruf maka secara khusus jika diperluas kepadamu.
Semua ini juga
bagi Allah dari segi Dia-lah yang jadikan sebab pelaku, dan memberinya apa yang
telah dia berbuat itu, dan mencintai
dia dan memberi dia kekuatan dan lainnya dari keagungan Allah yang apa bila
gagal salah satunya maka tidaklah dipuji maka semua pujian kepada Allah ini
merupakan ganjaran.
Adapun ucapan “لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ” maka Allah
merupakan nama Tuhan yang maha kuasa. Artinya : Al-ilah[1]
ialah al-ma’bud. Sebagaimana firmannya :
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ
وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun
di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan
mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. (al-an'am,3).
Yaitu
disembah dilangit dan di bumi.
إِنْ كُلُّ مَنْ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا [١٩:٩٣]
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan
datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Maryam, ayat: 93)
Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha
Mengatur.
Sedangkan alamiin adalah kata untuk setiap yang
selain Allah. Maka setiap raja, nabi, manusia, jin dan selainnya selain Allah
merupakan hamba yang diatur, tunduk dengan segala tindakannya, tidak ada sekutu
bagi_nya dalam agama. Yang Maha Kaya dan Tempat Bergantung
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
“Arrahmaanir rahim” merupakan dua kata
pecahan dari “rahmah” yang makna
salah satunya lebih luas dari lainnya. Seperti kata “allaam” dan “aliim”. Ibnu
Abbas berkata, “Keduanya merupakan dua
kata yang tipis perbedaannya. Salah satunya lebih tipis dari yang lainnya.
Yaitu salah satunya bermakna “lebih banyak rahmatnya””.
Di
sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah,
seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan
perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang
disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’.
Jadi,
Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat
kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari
sifat ini.
Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih
sayang yang hakiki bagi Allah سبحانه و تعالى. Pemandangan yang sering kita saksikan
pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan
adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna.
Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita
saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya
masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah سبحانه و تعالى
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ
“ maaliki yaumiddin “atau dalam bacaan
yang lain maliki yaumiddin.
Disebutkan diawal surat ,
yaitu awal mushaf tentang uluhiyah, rububiyah, dan muluk, sebagaimana disebutkan pula di akhir mushaf :
قُلْ أَعُوذُ
بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ
Artinya :
Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai)
manusia. Raja manusia. (An-Naas:1-2)
Ini adalah
tiga deskripsi tuhan, disebutkan dalam
satu grup di awal qur'an, dan kemudian
disebutkan dalam satu grup di akhir qur'an dari apa yang kamu dengar dari
qur'an. Maka hendaknya diperhatikan topik ini. Sesungguhnya Yang Maha
Mengetahui menggabungkan antara keduanya itu karena pentingnya seorang hamba
memahaminya dan mengetahui perbedaan sifat-sifat-Nya.
Setiap sifat
Allah memilik makna yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana disebut “Muhammad
rasulullah”, “penutup para nabi”, “pemimpin anak-anak Adam”; setiap sifat
tersebut memiliki makna yang berbeda satu dengan yang lain.
Jika telah paham
bahwa makna Allah adalah al ilah,
sembahan, maka pahamilah bahwa sembahan itu merupakan sesuatu yang diibadahi.
Maka jika engkau berdoa, menyembelih, bernadzar, lakukanlah untuk Allah. Jika
engkau berdoa, menyembelih, dan bernadzar kepada makhluk baik itu bagus maupun
jelek maka sesungguhnya engkau telah menjadikan dia sembahan.
وَلَمَّا سُقِطَ
فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ
يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [٧:١٤٩]
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan
mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: "Sungguh jika
Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah
kami menjadi orang-orang yang merugi".(al-A'raf, ayat: 149).
Adapun
rabb artinya adalah raja yang Maha
Mengatur. Allah adalah raja segala sesuatu dan dia pula lah yang mengurus
mereka, demikianlah sebenarnya.
Tetapi
para penyembah berhala yang dahulu diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun juga
menetapkan demikian sebagaimana dalam firman Allah :
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ
الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ [١٠:٣١]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu
dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"(Yunus:31)
Maka siapapun
yang memohon pertolongan dan agar permintaannya dikabulkan kemudian berdoa
kepada makhluk dengan menyandarkan padanya maka ini merupakan peribadatan
semisal mengucapkan “dari si Fulan hambamu” atau “hamba Ali” atau “Hamba Nabi”
atau “Hamba Zubair” maka telah menetapkan ketuhanan rububiyah mereka.
Maka dengan
berdoa kepada Ali atau Zubair bersamaan dengan berdoa kepada Allah berarti
menetapkan peribadatan kepada mereka. Harapannya agar mereka mendatangkan
kebaikan atau menolak keburukan dengan menamai diri mereka sebagai hamba dari
orang yang diibadahi tersebut merupakan bentuk penuhanan makhluk.
Semoga Allah
merahmati hambanya yang mengingatkan dirinya serta peduli terhadap perkara ini
dengan bertanya pada para ulama’. Karena para ulama merupakan orang-orang yang
berada di jalan yang lurus. Sudahkan mereka menafsirkan surat tadi dengan benar?
Adapun malik maka
penjelasannya adalah maaliki yaumiddin” atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin” maknanya menurut kebanyakan ahli tafsir
adalah sebagaimana Allah menafsirkannya sendiri :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ
الدِّينِ
, ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ . يَوْمَ لَا تَمْلِكُ
نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا ۖ وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
Tahukah kamu
apakah hari pembalasan itu? , Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan
itu?
(Yaitu) hari
(ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan
segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (Al-Infithar:17-19).
Jika memahami
ayat ini dan pengkhususan penguasa dari hari pembalasan – dan Allah adalah
penguasa segala sesuatu baik hari itu maupun hari lainnya- maka jelas bahwa
pengkhususan ini merupakan perkara besar yang menjadikan sebab seorang hamba
berhak masuk ke dalam surga serta yang bodoh terhadapnya menjadi sebab masuk
neraka.
Bahkan merekalah
yang menantang kami dengan kekafiran dan perang ketika :
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya : “Maka janganlah
kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
(Al-Jin:18)
dan dalam
firman-Nya :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا [١٧:٥٧]
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari
jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada
Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (Al-Israa’:57).
Dan dalam
firman-Nya :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ ۖ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ
بِبَالِغِهِ ۚ وَمَا دُعَاءُ
الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ [١٣:١٤]
Hanya bagi
Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya.
Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (Ar-Ra’d:14).
Demikianlah
sebagian makna maliki yaumiddin
berdasarkan ijma mufassirin dan Allah pun telah menjelaskan sebagaimana dalam
ayat surat
Al-Infithar diatas.
Maka biasakanlah
membaca al-Fatihah dengan kehadiran hati dan penuh rasa tunduk dan takut.
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Adapun Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain, maka
ibadah merupakan kesempurnaan cinta dan kesempurnaan ketaatan, takut dan
tunduk.
Dalam ayat ini maf’ul-nya didahulukan yaitu iyyaka dan diulang dua kali unuk
menegaskan bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami
bertawakal. Inilah yang disebut kesempurnaan ketaatan.
Adapun agama
seluruhnya kembali kepada dua makna yaitu, berlepas dari syirik dan berlepas
dari daya dan kekuatan selain Allah. “Hanya kepadamu kami menyembah” maknanya
hanya kepadamu kami mengesakan dengan menegaskan perjanjianmu dengan Allah
untuk tidak mempersekutukan-Nya dalam perkara ibadah. Tidak untuk nabi dan
tidak untuk malaikat. Sebagaimana ucapan-Nya kepada para sahabat :
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ
أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [٣:٨٠]
dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan
malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat
kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?"(Ali
Imran:80)
Perhatikanlah
ayat ini dan pahami tentang rububiyah-Nya. Adapun Iyyaka nastain, ini merupakan dua perkara yang salah satunya berupa
permohonan pertolongan kepada Allah berupa tawakal dan keterlepasan dari daya
dan kekuatan selain-Nya. Selain itu juga permohonan pertolongan kepada Allah
sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu termasuk bagian milik
hambanya.
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Ihdinash
shiratal mustaqim,
ini merupakan doa dengan memohon rizki dari Allah dengan permintaan besar ini,
yang tidak ada karunia yang lebih besar di dunia dan akhirat dari ini.
Sebagaimana Allah mengaruniakan pada Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam waktu Fathu Makkah :
وَيَهْدِيَكَ
صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا [٤٨:٢]
dan memimpin
kamu kepada jalan yang lurus, (Al-Fath:2)
Kata hidayah
pada ayat diatas berarti taufik dan petunjuk. Maka perhatikanlah masalah ini.
Dengan demikian, pada hidayah terkandung ilmu sekaligus amal saleh yang
istiqamah, sempurna, dan senantiasa konsisten sampai berjumpa dengan Allah
nanti.
Ash Shirath, yaitu jalan yang terang lagi lurus
tidak bengkok. Maksudnya adalah agama yang Allah turunkan melalui rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Jalan orang-orang yang telah Engkau beri
ni'mat kepada mereka” (al-Fatihah:7).
Mereka yang
dimaksud adalah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Engkau senantiasa membacanya pada
setiap rakaat dengan memohon kepada Allah hidayah agar selalu berada di jalan
mereka.
Maka wajib
diyakini kebenaran jalan ini. Adapun jalan-jalan, ilmu, maupun ibadah lain yang
menyelisihinya bukanlah dia jalan yang lurus. Inilah kewajiban pertama pada
ayat ini dengan meyakininya dalam hati serta waspada dari tipu daya setan.
Yaitu meyakini
secara umum tetapi tidak perduli terhadap rinciannya. Sesungguhnya orang-orang
yang batal keislamannya meyakini kebenaran risalah nabi dan memahami siapapun
yang menyelisihinya batil. Tetapi jika datang hal-hal yang tidak sejalan hawa
nafsu mereka, maka sebagaimana dalam ayat :
فَرِيقًا
كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ [٥:٧٠]
Artinya : (maka) sebagian dari rasul-rasul itu
mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (Al-Maidah:70)
غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Adapun ghairil maghdub bi ‘alaihim waladh dhaalliin,
maka yang dimaksud “mereka yang dimurkai” adalah para ulama’ yang tidak
mengamalkan ilmu mereka. Sedangkan “mereka yang sesat” adalah orang-orang yang
beramal tanpa ilmu.
Yang pertama itu
merupakan sifat orang-orang yahudi, sedangkan yang kedua merupakan sifat
orang-orang nasrani.
Kebanyakan orang
jika melihat tafsir -bahwasannya Yahudi adalah yang dimaksud dengan “mereka
yang dimurkai” dan Nasrani sebagai “mereka yang sesat”- menyangka dengan
bodohnya bahwa yang dimaksud sebatas mereka saja.
Orang-orang ini
yakin bahwa Tuhannya dengan ayat itu mewajibkan mereka berdoa dan berlindung
dari jalan mereka yang disifati menyimpang dalam ayat ini.
Maha Suci Allah,
bagaimana bisa Allah mengajarkan mereka dan membimbing jalan bagi mereka serta
mewajibkan mereka senantiasa berdoa dengan ayat ini tetapi mereka tidak merasa
diperingatkan dari peringatan Allah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka pun termasuk
pelaku yang diperingatkan. Inilah persangkaan yang buruk pada Allah, wallahu
a’lam. Ini bagian terakhir penjelasan al-Fatihah.
Adapun ucapan amien bukan termasuk dalam al-Fatihah
melainkan sebagai permohonan pengabulan doa yang artinya “Ya Allah, kabulkanlah”.
Maka wajib mengajarkan orang-orang yang jahil agar mereka tidak menyangka hal
ini bagian dari ayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar