Kamis, 31 Juli 2014

Pemimpin khianat

Jangan Pilih Pemimpin Khianat!

Tanggungjawab kepemimpinan tidak hanya menjadi beban seorang pemimpin. Mereka yang dipimpin pun yaitu rakyat (baca: umat) memiliki tang­gung­jawab besar. Tidak salah kalau Rasulullah bersabda bahwa semua umat adalah pemimpin, yang harus memper­tanggung­jawabkan kepemimpinannya kepada Allah. “Setiap kamu adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggung­jawaban­nya dihadapan Allah,” sabda Rasulullah.
Ini adalah konsep kese­taran, kesamaan terutama menyangkut tanggungjawab dalam kepemimpinan. Bahwa keberhasilan kepemimpinan ditentukan harmonisasi fungsi, peran serta tugas dari pemimpin dan umat yang dipimpinnya.
Dalam konteks apa peran umat itu? Pertama, dalam proses awal pemilihan pemim­pin. Umat harus tahu siapa pemimpin yang dipilihnya. Apakah sosok yang akan dipilih itu memiliki kelayakan, kemampuan, krebilitas moral serta kecakapan. Dan bagi umat Islam, tentu saja, yang utama menyangkut syarat aqidah.
Merupakan larangan keras, umat memilih pemimpin yang tidak seaqidah.
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.(QS.Al Maidah:51).

Pengertian seaqidah ini tidak bersifat formalistik: hanya karena beragama Islam. Keislaman calon pemimpin itu harus terlihat nyata pada sikap dan perilakunya. Apakah yang bersangkutan benar-benar memiliki kometmen keislaman, memperjuangkan aspirasi umat Islam atau tidak? Ini harus menjadi perhatian dan pertimbangan umat Islam dalam menentukan pemimpinnya.
Banyak sosok pemimpin di negeri ini secara formal ber­agama Islam. Tetapi kometmen dan konsistensi perjuangan­nya kepada Islam nol besar bahkan seringkali memusuhi umat Islam..
Mempermainkan Agama
Dalam proses awal pemili­han pemimpin itu, Islam mengingatkan secara tegas dan jelas tentang larangan memilih pemimpin yang men­jadikan moral dan nilai agama sebagai mainan.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau memilih pemimpin, yang menjadikan agamamu sebagai mainan,dan ejekan” (QS.Al Maidah:57).
Menjadikan agama sebagai mainan dalam pengertian ayat ini adalah penyalahgunaan kekuasaan, tidak mampu mengemban amanah kekua­saan dengan baik. Ia misalnya, tidak menegakan keadilan. Hukum menjadi mainan demi kepentingan kekuasaan. Ketika seseorang dianggap tidak mendukung kepentingan politiknya, hukum dipaksakan ditegakan. Tetapi bila sejalan kepentingan politiknya, betapa pun salah, hukum dimanipulasi. Hukum dibiarkan lumpuh.
Banyak para calon Pimpinan saat ini yang berteriak ingin menegakan hukum bila berkuasa. Padahal saat ber­kuasa, mereka tak peduli pada hukum dan bahkan menjadi pelanggar berat hukum,tokoh-tokoh yang pernah memegang kekuasaan. Baik di daerah maupun pusat yang sudah lengser maupun yang masih memegang kekuasaan di negeri ini. Tetapi mereka semua, tak pernah serius melaksanakan penega­kan hukum hingga negara ini hancur karena penyalah­gunaan kekuasaan yang luar biasa.
Manipulasi, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah menjadi rahasia umum berkembang pesat di negeri ini. Tetapi sejauh ini, pemegang kekuasaan, sekarang, cenderung membiarkan.
Siapa pun, yang mata hatinya masih terbuka menge­tahui dengan persis bahwa saat ini korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Eskalasi tindak pidana yang merugikan negara itu makin meluas sehingga membuat negara ini makin terjun bebas ke jurang kehancuran.
Catatan-catatan terbuka tentang sikap para calon pemimpin itu, harus menjadi pertimbangan umat Islam dalam memilih pada saat  mendatang. Umat tidak boleh memilih pemimpin, yang terbukti dan nyata-nyata mengabaikan moral, nilai agama serta hukum saat memegang kekuasaan.
Islam mengajarkan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk juga dalam masalah kepemimpinan. Allah dalam satu firmannya mene­gaskan agar umat melakukan perlawanan, koreksi terhadap para pemimpin yang berjanji namun tidak ditepati.
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.(QS.At Taubah 12).

Para pemimpin yang disaat kampanye berteriak memper­juangkan kepentingan wong cilik namun ternyata menjadikan wong licik, dijadikan komodite. Termasuk mereka yang saat ini banyak janji tetapi ketika mereka berkuasa tidak berbuat apa-apa bagi kepen­tingan rakyat.
Perlawanan itu antara lain melalui keberanian sikap umat untuk tidak lagi memilihnya. Pemimpin seperti itu, termasuk pula para calon pemimpin lainnya, perlu diberi pelajaran agar tidak menghianati rakyat. Mereka tidak layak lagi dipilih sebagai pemimpin karena terbukti mengingkari janjinya.
Inilah salah satu nilai indah ajaran Islam, yang menem­pat­kan kesetaraan dan kesamaan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Tak ada perbedaan tugas dalam menyangkut penegakan kebenaran. Yang membedakan hanya porsi tanggungjawab. Secara subtansi rakyat dan pemimpinnya memiliki tanggungjawab sama: harus menegakan nilai-nilai kebenaran.
Rakyat harus memiliki kecerdasan dan ketajaman berpikir serta keberanian bertindak dalam menentukan sosok pemimpinnya. Bukan hanya para pemimpin yang menentukan arah perjalanan bangsa ini, tetapi juga kecerdasan dan ketajaman berpikir rakyatnya.
Tahun 2006, karenanya harus menjadi momentum mengembalikan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Rakyat sudah saatnya bersikap kritis, arif serta mengedepankan nurani dalam menentukan siapa sosok yang layak menjadi pemim­pinnya. Tentu, hanya mereka yang memiliki moral, tidak cacat moral, bukan peng­khianat saat berkuasa, tidak suka ngumbar janji,mereka tidak layak memimpin Banjarnegara. Mereka yang banyak janji saat belum berkuasa tetapi ketika berkuasa lalu terbukti menjadi pengنhianat moral dan nilai agama, tidak boleh lagi diberi kesempatan. Itu, bila rakyat ingin Banjarnegara menuju Kabupaten yang diberkahi, yang sejahtera, lahir batin dalam maghfirah dan limpahan rahmat Allah SWT.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar