Jangan Pilih Pemimpin Khianat!
Tanggungjawab kepemimpinan tidak hanya menjadi beban seorang pemimpin. Mereka yang dipimpin pun yaitu rakyat (baca: umat) memiliki tanggungjawab besar. Tidak salah kalau Rasulullah bersabda bahwa semua umat adalah pemimpin, yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah. “Setiap kamu adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah,” sabda Rasulullah.
Ini adalah konsep kesetaran,
kesamaan terutama menyangkut tanggungjawab dalam kepemimpinan. Bahwa
keberhasilan kepemimpinan ditentukan harmonisasi fungsi, peran serta tugas dari
pemimpin dan umat yang dipimpinnya.
Dalam konteks apa
peran umat itu? Pertama, dalam proses awal pemilihan pemimpin. Umat harus tahu
siapa pemimpin yang dipilihnya. Apakah sosok yang akan dipilih itu memiliki
kelayakan, kemampuan, krebilitas moral serta kecakapan. Dan bagi umat Islam,
tentu saja, yang utama menyangkut syarat aqidah.
Merupakan larangan keras, umat memilih pemimpin yang
tidak seaqidah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.(QS.Al Maidah:51).
Pengertian seaqidah ini tidak bersifat formalistik: hanya
karena beragama Islam. Keislaman calon pemimpin itu harus terlihat nyata pada
sikap dan perilakunya. Apakah yang bersangkutan benar-benar memiliki kometmen
keislaman, memperjuangkan aspirasi umat Islam atau tidak? Ini harus menjadi
perhatian dan pertimbangan umat Islam dalam menentukan pemimpinnya.
Banyak
sosok pemimpin di negeri ini secara formal beragama Islam. Tetapi kometmen dan
konsistensi perjuangannya kepada Islam nol besar bahkan seringkali memusuhi
umat Islam..
Mempermainkan Agama
Dalam proses awal pemilihan pemimpin itu, Islam
mengingatkan secara tegas dan jelas tentang larangan memilih pemimpin yang menjadikan
moral dan nilai agama sebagai mainan.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا
وَلَعِبًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau memilih
pemimpin, yang menjadikan agamamu sebagai mainan,dan ejekan” (QS.Al Maidah:57).
Menjadikan agama sebagai
mainan dalam pengertian ayat ini adalah penyalahgunaan kekuasaan, tidak mampu
mengemban amanah kekuasaan dengan baik. Ia misalnya, tidak
menegakan keadilan. Hukum menjadi mainan demi kepentingan kekuasaan. Ketika
seseorang dianggap tidak mendukung kepentingan politiknya, hukum dipaksakan
ditegakan. Tetapi bila sejalan kepentingan politiknya, betapa pun salah, hukum
dimanipulasi. Hukum dibiarkan lumpuh.
Banyak
para calon Pimpinan saat ini yang berteriak ingin menegakan hukum bila
berkuasa. Padahal saat berkuasa, mereka tak peduli pada hukum dan bahkan
menjadi pelanggar berat hukum,tokoh-tokoh yang pernah memegang kekuasaan. Baik
di daerah maupun pusat yang sudah lengser maupun yang masih memegang kekuasaan
di negeri ini. Tetapi mereka semua, tak pernah serius melaksanakan penegakan
hukum hingga negara ini hancur karena penyalahgunaan kekuasaan yang luar
biasa.
Manipulasi,
korupsi, kolusi dan nepotisme sudah menjadi rahasia umum berkembang pesat di
negeri ini. Tetapi sejauh ini, pemegang kekuasaan, sekarang, cenderung
membiarkan.
Siapa
pun, yang mata hatinya masih terbuka mengetahui dengan persis bahwa saat ini
korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Eskalasi tindak pidana yang merugikan
negara itu makin meluas sehingga membuat negara ini makin terjun bebas ke
jurang kehancuran.
Catatan-catatan
terbuka tentang sikap para calon pemimpin itu, harus menjadi pertimbangan umat
Islam dalam memilih pada saat mendatang.
Umat tidak boleh memilih pemimpin, yang terbukti dan nyata-nyata mengabaikan moral,
nilai agama serta hukum saat memegang kekuasaan.
Islam mengajarkan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar. Termasuk juga dalam masalah kepemimpinan. Allah dalam satu firmannya
menegaskan agar umat melakukan perlawanan, koreksi terhadap para pemimpin yang
berjanji namun tidak ditepati.
وَإِنْ
نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ
يَنْتَهُونَ
Jika mereka
merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu,
maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya
mereka berhenti.(QS.At Taubah 12).
Para pemimpin
yang disaat kampanye berteriak memperjuangkan kepentingan wong cilik namun
ternyata menjadikan wong licik, dijadikan komodite. Termasuk mereka yang saat
ini banyak janji tetapi ketika mereka berkuasa tidak berbuat apa-apa bagi kepentingan
rakyat.
Perlawanan
itu antara lain melalui keberanian sikap umat untuk tidak lagi memilihnya.
Pemimpin seperti itu, termasuk pula para calon pemimpin lainnya, perlu diberi
pelajaran agar tidak menghianati rakyat. Mereka tidak layak lagi dipilih
sebagai pemimpin karena terbukti mengingkari janjinya.
Inilah
salah satu nilai indah ajaran Islam, yang menempatkan kesetaraan dan kesamaan
antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Tak ada perbedaan tugas dalam
menyangkut penegakan kebenaran. Yang membedakan hanya porsi tanggungjawab.
Secara subtansi rakyat dan pemimpinnya memiliki tanggungjawab sama: harus
menegakan nilai-nilai kebenaran.
Rakyat
harus memiliki kecerdasan dan ketajaman berpikir serta keberanian bertindak
dalam menentukan sosok pemimpinnya. Bukan hanya para pemimpin yang menentukan
arah perjalanan bangsa ini, tetapi juga kecerdasan dan ketajaman berpikir
rakyatnya.
Tahun
2006, karenanya harus menjadi momentum mengembalikan hak rakyat dalam
menentukan nasibnya sendiri. Rakyat sudah saatnya bersikap kritis, arif serta
mengedepankan nurani dalam menentukan siapa sosok yang layak menjadi pemimpinnya.
Tentu, hanya mereka yang memiliki moral, tidak cacat moral, bukan pengkhianat
saat berkuasa, tidak suka ngumbar janji,mereka tidak layak memimpin
Banjarnegara. Mereka yang banyak janji saat belum berkuasa tetapi ketika
berkuasa lalu terbukti menjadi pengنhianat moral dan nilai agama, tidak boleh lagi diberi
kesempatan. Itu, bila rakyat ingin Banjarnegara menuju Kabupaten yang
diberkahi, yang sejahtera, lahir batin dalam maghfirah dan limpahan rahmat
Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar