Falsafah,
Makna dan Prinsip Ibadah
Rabu, 6 April 2011 17:24:15 - oleh : admin
A.
Falsafah Ibadah: Kenapa kita (harus) beribadah?
Seluruh
makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara (rububiyyatullâh),
dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT (mulkiyyatullâh).
Tentang penciptaan dan pemeliharaan tersebut, Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai manusia,sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang Sebelummu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah/2: 21)
إِنَّ
هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ
فَاعْبُدُونِ
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah
agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhan (Pencipta &
Pemelihara)-mu, maka sembahlah Aku."(QS. Al-Anbiyâ'/21: 92)
Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling
tahu tentang apa yang terbaik dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya.
Tentang pemilikan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah
berfirman:
وَلِلَّهِ
مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit
dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali
Imrân/3: 109)
Sebagai
milik Allah, maka -suka atau tidak suka-semuanya pasti dikembalikan dan
berserah diri kepada Allah SWT:
وَلَهُ
أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
"...kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."
(QS. Ali ‘Imrân/3: 83)
وَلِلَّهِ
غَيْبُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi
dan kepada-Nya-lah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan."(QS. Hûd/11: 123)
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan."(QS. Hûd/11: 123)
Sengaja
Allah SWT memilih kalimat pasif: dikembalikan karena memang
semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan dikembalikan atau dipaksa
untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang Penguasa (al-Malik). Atas
dasar inilah sehingga tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah diri
secara mutlak kepada Allah SWT. Dan atas dasar ini pula, manusia tidak
dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya
lagi untuk yang lain. Semuanya harus total dipersembahkan hanya kepada
Allah SWT:
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
"Katakanlah,sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
Pemelihara alam semesta." (QS. Al-An‘âm/6:162)
Pemelihara alam semesta." (QS. Al-An‘âm/6:162)
Selain itu, Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang
paling sempurna (QS. Al-Tîn/95: 4) dan paling dimuliakan Allah dengan
memberinya berbagai kelebihan dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra'/17:
70). Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan
fasilitas yang lebih berupa akal dan nurani, tentunya bukan tanpa tujuan. Karena
itu Allah SWT memberikan pertanyaan reflektif kepada manusia:
paling sempurna (QS. Al-Tîn/95: 4) dan paling dimuliakan Allah dengan
memberinya berbagai kelebihan dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra'/17:
70). Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan
fasilitas yang lebih berupa akal dan nurani, tentunya bukan tanpa tujuan. Karena
itu Allah SWT memberikan pertanyaan reflektif kepada manusia:
أَفَحَسِبْتُمْ
أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ
"Apakah kalian
mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan mengira bahwa kalian tidak kembali
kepada Kami?!" (QS. Al-Mu'minûn/23: 115)
Sengaja Allah merangkai dua pertanyaan dalam satu
ayat tentang tujuan
penciptaan manusia secara sempurna oleh Allah SWT, dan tentang kemana tempat kembali
terakhir kita kalau bukan kepada Allah SWT, dengan maksud mengajak kita untuk berpikir dan merenung
tentang tujuan penciptaan manusia. Tentu ada
tujuan Allah untuk semua itu.
Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai
kelebihan dimaksudkan karena Allah akan
memberikan tugas mulia kepada manusia yakni menjadi khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah/2: 30)
yang bertugas memakmurkan
bumi ini (QS. Hûd/11: 61). Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dengan
baik maka tidak
bisa tidak kecuali harus didasarkan pada semangat pengabdian (ibadah) yang
murni hanya karena Allah SWT semata. Untuk itulah Allah SWT berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
"Tidaklah aku
menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku"
(QS. Adz-Dzariyat/51: 56; Lihat juga QS. Al-Bayyinah/98:5).Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa. Firman Allah SWT:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
"Hai manusia,sembahlah (beribadahlah) kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-Baqarah/2: 21).
Hanya dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu
memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah (‘abdu-llâh)
dan khalifah Allah (khâlifatu-llâh) di muka bumi sehingga ia
mampu menyelesaikan tugas kekhalifahannya dengan baik ketika di dunia untuk kemudian
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.
B.
Makna Ibadah
Lalu apa makna Ibadah?
Makna atau definisi ibadah menurut Muhammadiyah adalah:
التَّقَرُّبُ
إِلَى اللهِ بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا
أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ
"Mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangal-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan
oleh-Nya." (Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 276)
C. Pembagian
IbadahDitinjau dari segi ruang lingkupnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian:
1. `Ibâdah khâshshah (ibadah khusus), yaitu
ibadah yang
ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, dan semacamnya.
2. `Ibâdah `âmmah
(ibadah umum), yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat
karena Allah SWT. semata, misalnya: berdakwah,
melakukan amar ma`ruf nahi munkar di berbagai bidang, menuntut ilmu, bekerja, rekreasi
dan lain-lain yang semuanya itu diniatkan semata-mata karena Allah SWT dan ingin
mendekatkan diri kepada-Nya.[1]
D. Prinsip Ibadah
Supaya manusia bisa diterima amalan ibadahnya
oleh Allah SWT dan selamat ketika dipanggil
kembali untuk bertemu dengan Allah, maka ada 6 prinsip ibadah yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam beribadah.[2] Dari keenam prinsip tersebut bisa diperas ke dalam satu prinsip utama yaitu:
Ibadah harus
sesuai
dengan tuntunan. Allah
SWT berfirman:
فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
"Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan
Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal shalih
dan ia jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah
kepada Tuhannya."(QS.Al-Kahfi/18: 110)
kepada Tuhannya."(QS.Al-Kahfi/18: 110)
Arti kata
shâlih adalah baik karena sesuai. Seseorang dikatakan beramal shaleh bila dalam beribadah kepada Allah
sesuai dengan cara yang
disyari`atkan Allah melalui Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri.
Syarat ibadah yang
dikatakan sesuai dengan tuntunan Allah melalui Rasul-Nya adalah:
1. Dilakukan secara ikhlas
yakni murni hanya menyembah kepada Allah semata (QS. Al-Fâtihah/1: 5; Al-Nisâ'/4: 36; al-Bayyinah/98: 5;
al-An'âm/6: 162) dan murni hanya karena mengharap ridla-Nya.
Keikhlasan
harus ada dalam seluruh ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa keikhlasan,
maka tidak mungkin ada ibadah
yang sesungguhnya. Beribadah secara ikhlas didasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
"Katakanlah, sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara
alam semesta." (QS.
Al-An‘âm/6: 162)
Bahkan, ibadah tanpa diserati dengan keikhlasan
maka tidak akan
diterima oleh Allah SWT. Hal ini karena Nabi saw pernah menyatakan bahwa setiap
perbuatan itu tergantung pada niatnya (Muttafaq ‘alayh).
Demikian pula hadis Nabi saw yang lain yang berbunyi:
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ
بِهِ وَجْهُهُ
"Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlas
dan hanya mencari
ridla-Nya." (HR. Al-Nasâ`i)
ridla-Nya." (HR. Al-Nasâ`i)
Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang
dilakukan secara
ikhlas saja yang akan diterima oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara
tidak ikhlas, seperti karena riya' (baca: ingin dilihat dan mendapat pujian/penghargaan dari
selain Allah), meskipun itu baik, maka tidak akan punya nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa mendapatkan
kecelakaan (QS. Al-Mâ‘ûn/107: 4-7).
2. Tata caranya harus sesuai Tuntunan Allah dan Rasul-Nya
Dalam hal shalat, Nabi Muhammad
saw. bersabda:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (رواه البخاري)
"Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin Al-Huwairits)
Nabi Muhammad saw telah
mengajarkan tentang tata cara shalat secara lengkap melalui
hadis-hadisnya yang maqbûl, dari sejak niat yang tidak dilafalkan, bagaimana
gerakan dan bacaan shalat sejak takbir hingga salam, berapa jumlah raka`at, kapan
saja waktu-waktu shalat, dan lain-lain. Dalam masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari ibadah mahdlah tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat yang akan terjadi, yakni:
Pertama: Ibadahnya ditolak. Nabi saw bersabda:hadis-hadisnya yang maqbûl, dari sejak niat yang tidak dilafalkan, bagaimana
gerakan dan bacaan shalat sejak takbir hingga salam, berapa jumlah raka`at, kapan
saja waktu-waktu shalat, dan lain-lain. Dalam masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari ibadah mahdlah tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat yang akan terjadi, yakni:
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini
yang tidak ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak." (Muttafaq 'alayh)Kedua: Divonis bid'ah, sesat dan masuk neraka. Nabi Muhammad saw memperingatkan dengan sabdanya:
فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم وابن ماجة وأحمد والدارِمى.) و فى لفظ النسائى: وَكُلُّ
ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
"Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah
Kitabullah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik bimbingan, adalah bimbingan Muhammad,
sedang sejelek-jelek perkara adalah mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah
(penyimpangan dengan mengada-ada) adalah sesat." (HR. Muslim, Ibn
Majah, Ahmad & Darimi) Dalam redaksi Al-Nasa'i: "... dan setiap
yang sesat, di neraka."
Hadis ini dimaksudkan sebagai
peringatan agar orang tidak mudah melakukan penyimpangan (bid`ah) dalam
masalah ibadah mahdlah.Itulah sebabnya para ulama menyusun sebuah kaidah ushul dalam hal ibadah:
الأصل
في العبادات
الحظر إلا ما ورد عن الشارع تشريعه
"Prinsip asal dalam masalah ibadah itu dilarang kecuali terdapat
dalil dari Allah (al-Syâri') yang mensyari'atkannya"Pengkajian & Pengamalan Islam (LPPI) UMY. Bahan disarikan dari Buku Syakir
Jamaluddin, Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw: Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar Shalat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar