HUKUM NIKAH SIRRI
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan
memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin
Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda
pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang.
Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri
yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan
syaratnya menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki
dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk
merahasiakan atau tidak memberitahukan
terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat,
dan dengan sendirinya tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy
atau dalam bentuk yang lain.Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang
dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya
itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.
Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil
wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas
Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor
Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak
mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian
di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga
dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di
atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut dinyatakan
bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga
harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
(1).
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya
itu.
(2).
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang
berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan.
Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan:
"Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agama dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
(1).
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2).
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai
itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang
menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3).
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan
telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam
akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan
dan kutipannya, yaitu:
(1).
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai
pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera
Pengadilan dalam wilayah Kantor
pencatatan Perkawinan itu berada
(2).
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui
bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi
perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya
mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah
peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi
ketertiban dan kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya
hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun
sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi
unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan
yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas,
antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi
saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا
النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة]
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana
[HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ
بِشَاةٍ (رواه البخارى عن
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya
dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah
terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena
perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa
negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur
perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan
perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya
perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan,
dan lain-lain.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta
nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu
pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah
suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.
Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan
dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa
dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum
semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ
يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena
perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ
اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi
menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I’lam
al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu
pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum
juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan
rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan
perundang-undangan.
Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya
pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku
jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini
dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9
Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta
perkawinan, dalam hukum Islam, di qiyas kan kepada pencatatan dalam persoalan
mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk
mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian
yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ
مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا [٤:٢١]
Artinya: Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain
harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral
lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat
atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya
apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan
tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan
hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan
anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ
اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan
terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Atas dasar
pertimbangan di atas, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan
yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian
Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di
antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang,
peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar