Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah
Istilah “keluarga sakinah mawaddah wa rahmah”
sudah sangat populer di masyarakat. Coba perhatikan
kartu undangan-undangan pernikahan dan walimah, hampir tidak pernah kosong dari
kalimat tersebut. Demikian juga, ketika seseorang ditanya tentang harapan
mereka untuk keluarganya, pasti jawabannya “merajut keluarga Sakinah mawaddah
wa rahmah”. Padahal kalau ditanya apa makna kalimat tersebut, banyak dari
mereka tidak mengerti. Mereka menjawabnya hanya karena kalimat tersebut
berarti bahagia, tenteram, bagus dan terkesan Islami, tapi alangkah baiknya
kalau kalimat tersebut diiringi dengan pemahaman dan keinginan yang tulus untuk
mencapainya.
Begitu
banyak orang yang merindukan sebuah rumah tangga yang indah, bahagia dan penuh
pesona, tapi tidak sedikit kita saksikan di sekitar kita, beberapa rumah tangga
yang hari demi harinya hanyalah perpindahan dari kegelisahan, kecemasan dan
penderitaan. Bahkan tak jarang diakhiri dengan konflik dan perceraian.
Na’udzubillah min dzalik.
Mengapa
ini bisa terjadi? Ternyata merindukan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa
rahmah itu harus disertai dengan kesungguhan yang didahului dengan pemahaman
yang baik dan benar.
Keluarga
yang Sakinah memang merupakan idaman setiap pasangan suami istri dan cita-cita
dari setiap orang tua yang menikahkan putra-putrinya, namun perlu disadari
bahwa keluarga Sakinah yang mudah diucap, tak mudah didapat. Dia perlu dibangun
dan dibina secara bersama dan terus-menerus, tak hanya oleh pasangan suami
istri, melainkan juga harus dibantu oleh orang tua dan keluarga kedua belah
pihak.
Setelah
ada pemahaman yang jelas tentang makna kata-kata tersebut, kita bisa mencoba
menjalankan, menerapkan, dan menikmatinya. Tentu saja ini tidak bisa instan,
butuh waktu. Tapi bagi mereka yang sudah memiliki pondasi pemahaman yang kuat
pada saat melangkah ke jenjang pernikahan, tentu saja ini bisa menjadi lebih mudah
untuk diterapkan.
Islam telah
menyusun garis-garis yang jelas untuk membina rumah tangga dan menegakkan
sendi-sendinya dengan pondasi yang kokoh dan kuat. Al-Qur’an telah menyatakan:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sebagian
dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya adalah Dia telah menciptakan untuk mu
pasanganmu dari dirimu, agar kamu tenteram kepadanya dan telah menjadikan kasih
sayang di antara kamu” (Qs. Ar-Rum 21).
Apabila
kita
membangun rumah tangga dengan niat yang tulus mencapai ridha Allah, berarti
kita telah berusaha untuk menguatkan pondasi rumah tangga kita. Untuk mencapai
niat tersebut, perlu adanya kesamaan keimanan dan visi dalam berumah tangga.
Untuk itu Islam menyarankan umatnya untuk mencari pasangan yang seiman,
seakidah dan yang kuat agamanya.
Harta
dan ketampanan bukanlah sebuah patokan, karena tanpa agama yang kuat, seorang
laki-laki yang akan menjadi pemimpin di rumah tangga akan mudah goyah dan tidak
mampu memberikan keseimbangan dalam rumah tangganya kelak. Apabila keseimbangan
itu ada, tujuan rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah pun bisa dicapai. Insya
Allah.
Rumah
tangga adalah pusat ketenteraman batin dan ketenangan jiwa bagi pemiliknya,
suami, istri dan anak-anaknya. Seorang istri harus bersikap sopan-santun
terhadap suami dan ikhlas dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Sehingga
ketika suami sudah berlumur keringat, bersimbah peluh, bekerja dengan keras, ia
akan selalu rindu untuk pulang ke rumah. Karena rumah tangganya adalah sumber
ketenangan dan ketenteraman yang tidak akan diperoleh dalam hiruk-pikuknya
kehidupan sehari-hari.
Demikian pula, seorang
anak juga akan rindu untuk pulang ke rumah dengan segera, karena di sana dia
akan mendapatkan ayah dan ibunya bagaikan air pelepas haus di kala
dahaga. Bagi seorang istri, ia kan selalu merasa nyaman dan tenteram berada di
antara suami, dan anak-anaknya. Sehingga semua anggota keluarga sepakat untuk
menjadikan rumah sebagai pusat ketenteraman batin dan ketenangan jiwa.
Sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
“Dia
(Allah) yang telah menciptakan kamu dari nafs (diri) yang satu, dan
menjadikannya dari pasangannya agar dia tenteram kepadanya” (Qs. Al-A’raf
189).
Rumah tangga yang tenteram, muncul karena adanya rasa
kasih sayang dalam diri masing-masing anggotanya terhadap satu sama lain.
Perasaan kasih sayang itulah yang disebut dengan “Mawaddah” dan “Rahmah”.
Perasaan ini akan muncul dengan sendirinya, apabila pondasi yang kuat terhadap
sendi-sendi agama telah dipancangkan dari awal pernikahan. Seperti firman
Allah: “...dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang”
Inilah
pondasi yang telah dibangun Allah untuk umat manusia di muka bumi ini. Namun,
kenapa ada kenyataan lain yang kita lihat disekitar kita? Ada suami yang enggan
pulang ke rumah hanya karena setiap kali ia memasuki rumah, yang dirasakannya
adalah ketidaknyamanan oleh sikap istri dan anak-anaknya. Bayangkan, akan
pulang ke mana lagi seorang suami bila ia tidak mendapatkan ketenteraman di
rumahnya sendiri?
Demikian
pula, banyak anak yang kita lihat lebih suka keluyuran diluar rumah dan malas
pulang ke rumah karena ia juga tidak merasakan ketenteraman. Bahkan, ada juga
istri-istri yang lebih sibuk dengan aktivitasnya di luar rumah, sampai-sampai
tugasnya sebagai ibu rumah tangga terbengkalai. Mengapa semua ini terjadi?
Jawabannya adalah kurang
kuatnya pondasi agama yang dibangun sepasang suami-istri pada saat mereka menikah. Sehingga akibatnya pada saat mereka
mengarungi bahtera rumah tangganya, mereka sering kali jauh dari mengingat
Allah. Padahal, ketenteraman dan ketenangan jiwa itu hanya akan ditemui dengan
satu jalan, “Alaa bi dzikrillahi tathmainnul quluub” (Ketahuilah, dengan
mengingat Allah, jiwa akan tenang)
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ
قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d 28)
Dengan kata lain, rumah
tangga yang dibangun tanpa mengingat Allah, tanpa mengenal Allah, dan tidak taat
kepada Allah, maka sebanyak apapun harta yang ada, setinggi apapun kedudukan
anggota keluarganya,setinggi apaun titel kesarjana annya, semelimpah apapun
kekayaan mereka, sehebat apapun kekuasaannya, tidak akan bisa membeli
ketenteraman jiwa.
Rumah tangga sakinah
adalah rumah tangga yang berkah, yaitu rumah tangga yang tujuannya semata-mata
adalah ridha Allah SWT. Hari-harinya diisi dengan kesungguhan untuk mendekatkan
diri kepada Allah; harta yang dicarinya adalah harta di jalan Allah, rumahnya
disukai oleh Allah karena penghuninya penuh kasih sayang, sehingga merasakan
ketenteraman, dan ketenangan jiwa.
Jadi ungkapan
“keluarga sakinah mawaddah wa rahmah” itu hendaknya bukan sekedar penghias
kata-kata belaka, melainkan harus diupayakan untuk merealisasikannya dalam
kehidupan kita. Semakin kita memahami maknanya, semakin terbuka jalan untuk
mewujudkannya. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar